BAB 25

9.4K 1K 7
                                    

Adrian

Aku baru saja menutup layar ponselku setelah menyudahi sambungan telepon dengan Ayu. Hari ini cukup melelahkan karena ada beberapa odontektomi. Meskipun singkat dan bisa dibilang ringan, yang namanya operasi sama-sama memiliki resiko yang membuatku selalu harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Berurusan dengan ciptaan Tuhan mana boleh asal-asalan kan. Apalagi jika operasinya dilakukan maraton sejak siang tadi. Jika dokter kandungan memiliki hari-hari sibuk di tanggal cantik, maka entahlah ini tanggal apa sehingga beberapa pasien memutuskan untuk melakukan operasi bersamaan di hari ini. Karenanya aku begitu menikmati tempat tidur di ruang istirahat dokter ini.

Aku menutup mata juga meletakkan lenganku di sana mencoba untuk tidur sambil menunggu Pak Ilham yang sedang membelikan makanan. Tapi pikiranku tidak bisa berhenti mengingat percakapan di ruang operasi tadi siang. Sepertinya itu juga yang menambah tingkat kelelahanku selain karena maraton operasi juga bangun lebih pagi karena ingin mengantar Ayu.

Awalnya Hari, dokter anestesi yang juga salah satu temanku, mengajak hang-out week end besok. Hal yang biasa sebetulnya, karena tim dalam satu shift operasi biasanya rolling setiap bulan. Dan pekan ini adalah yang terakhir dalam bulan ini, jadi untuk refreshing juga 'perpisahan' tim bulan ini mereka berencana makan bersama di weekend besok saat lepas tugas. Meskipun aku bukan bagian dari tim, tapi aku tetap diajak karena beberapa kali kami bertugas bersama. Sayangnya, selain ada jadwal on-call di Prama Medika, aku sudah berjanji menemani Ayu makan siang bersama Reno dan tentunya ingin menghabiskan hari libur besok bersama Ayu.

"Mau kencan ya, Dok?" celetuk Bu Wati, salah satu perawat as-op, setelah mendengar ketidakhadiranku.

Aku menjawab sambil tertawa, "Namanya juga usaha, Bu, biar cepet ada temen hidup."

"Apalagi kalo targetnya Dokter Ayu, pepet terus pantang kendor ya, Dok." Kelakar Hari yang entah kenapa membuatku tersenyum dibalik masker.

"Ih, Dok, Dokter Ayu bukannya pacar orang? Kemarin saya ada di kantin pas Dokter Ayu pingsan terus dibopong sama pacarnya ke IGD." Kata perawat as-op lainnya, Vidia.

"Bukan pacarnya itu, temen aja." Jawabku mencoba setenang mungkin, setelah paham yang dimaksud adalah Reno. Padahal hatiku panas, enak saja dibilang pacar Reno, Ayu itu pacarku.

"Masa, sih, Dok? Soalnya kemarin yang lakinya panggil-panggil 'Sayang, bangun, sayang. Ayu, sayang.' Gitu, Dok. Saya ada disitu soalnya." Jelas Vidia dengan semangat, seolah menyemangati hatiku agar semakin panas.

Sialan memang si Reno, dia lupa atau bagaimana kalau Ayu sudah menjadi masa lalunya. Seenaknya saja memanggil sayang dan disalah artikan oleh orang lain. Jika sudah begini sepertinya aku perlu juga mengumumkan bahwa akulah pacar Ayu. Well, aku dan Ayu memang tidak ada pembicaraan soal terbuka atau tidaknya hubungan kami pada orang lain. Jadi menurutku jika ceritanya begini, tidak ada salahnya kan kalau aku membuat pengumuman.

"Bukan, kok, setahu saya sih pacarnya Dokter Ayu itu Dokter Adrian."

Ruangan mendadak hening. Kami memang mengobrol setelah menyelesaikan operasi, jadi masing-masing dari kami sedang membereskan bekas operasi barusan. Dan setelah kalimatku yang terakhir, semua orang yang mendengar kompak menghentikan aktivitasnya sesaat.

"Adrian elo maksudnya? Apa ada Adrian yang lain?" Hari yang pertama buka suara yang mana membuat Vidia melotot.

Aku hanya terkekeh, "Udah, ah, malah ngegosip. Yuk semuanya, terima kasih ya untuk kerja samanya hari ini." Aku berpamitan tanpa menjawab rasa penasaran mereka lagi. Yang penting mereka sudah tahu kalau pacarnya Ayu ya Adrian, bukan Reno.

Prognosa: Ad BonamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang