BAB 23

9.7K 1K 10
                                    


Ayudya

Aku terbangun karena mendengar dering ponsel dari dalam tasku di atas nakas sebelah ranjang. Tadi setelah makan aku yang hanya ingin memejamkan mata karena masih pusing, ternyata tertidur. Aku melihat sekeliling dan tidak mendapati siapapun di dekatku. Sepertinya Mas Ian keluar saat aku tertidur tadi. Aku menggapai tas dan mengambil ponselku di dalamnya yang menampilkan nomor Mas Bian. Mas Bian bertanya kondisiku karena baru saja dikabari oleh Reno kalau aku sempat pingsan. Ya, Mas Bian memang cukup mengenal Reno. Karena kakakku itu memang super-protektif sejak dulu, jadi dia ingin selalu bisa memantauku termasuk salah satunya melalui Reno yang waktu itu memang sangat lama jadi pacarku. Seingatku, dulu pun saat aku drop memang Mas Bian yang dihubungi Reno, jadi tidak heran kalau saat ini dia juga dikabari oleh Reno.

Mas Bian memintaku menjelaskan dengan rinci bagaimana kondisiku, juga berencana untuk ke Bandung secepatnya yang mana membuatku bingung karena harus menjelaskan soal rencana menginap di rumah Mas Ian. Akhirnya mau tidak mau aku menjelaskan hubunganku dengan Mas Ian termasuk rencananya itu.

"Kalo gitu nanti Mas bilang dulu sama Papa ya, Na. It's a big deal." tuh kan, dia mulai berlebihan. Ya walaupun tidak sepenuhnya salah, aku memang harus ijin pada Papa.

"Iya Mas, aku juga rencananya ngabarin dan minta ijin Papa kok."

"By the way cepet juga geraknya si Adrian itu. Baru sebulanan lebih kan ini dari pembukaan Sabda Medika?" Mas Bian mulai dengan sikap protektifnya yang kepo soal hubunganku dan Mas Ian.

"Duh, kalo mau kepo nanti dulu deh, Mas, tunggu aku sehaaat." rajukku.

Mas Bian pun mengiyakan lalu menyuruhku Kembali istirahat dan menutup telepon setelah mengucapkan salam. Di saat yang sama, Mas Ian masuk kembali ke ruanganku kemudian duduk di tepi ranjangku seperti sebelumnya.

"Kok bangun sih?" tanyanya sambil kembali mengusap kepalaku, sepertinya ini adalah hobinya dan aku menyukainya. Cheesy Ayudya!

"Barusan Mas Bian telepon nanya kondisiku. Mas, aku harus ijin Papa dulu kalo mau menginap di rumahmu."

Mas Ian mengangguk, "Kamu udah kabarin Mas Bian ternyata."

"Bukan, ehm, Reno yang kabarin." Mas Ian tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya di kepalaku. Nah, aku juga punya hutang penjelasan soal Reno sepertinya. Aku meraih tangannya dan kuletakkan di atas pangkuanku. "Aku harus cerita kayaknya ya biar kamu nggak bingung."

"I'm all ears." Mas Ian mengangguk.

"Reno itu mantanku." Mulaiku. Kulihat Mas Ian hanya mengangkat alisnya. "Kami pacaran sejak aku dan dia S1, selama lima tahun." Kali ini Mas Ian terlihat cukup kaget karena matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka. "Jadi nggak perlu heran kalo dia kelihatan cukup tahu aku atau kenal keluargaku."

"Wow, okay." responnya singkat.

Sekarang aku yang menaikkan alisku, "just okay?"

Dia terkekeh pelan sambil tangannya mengusap punggung tanganku. "Aku menduga sih kamu pernah ada sesuatu sama dia, tapi nggak nyangka kalo ternyata pacaran selama itu. But that's okay. Itu dulu kan? Dan udah selesai kan?" aku mengangguk pasti. "Ya udah. Sekarang mending istirahat aja, nggak usah mikir aneh-aneh. Aku udah ijin Papamu, dan Papamu ijinin."

"Kok bisa?" kataku kaget. Aku ingat, sih, kalau Mas Ian memang lebih dulu mengenal Papa, tapi tidak menyangka kalau semudah itu mendapat ijin Papa. Ya, walaupun Papa memang lebih santai dari Mas Bian.

"Bisa apa?"

"Kok bisa minta ijin Papa terus Papa ijinin?"

"Kenapa enggak?"

Prognosa: Ad BonamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang