Bab 2. Ingin Masuk Pesantren

15 4 0
                                    

"Vie, kamu udah tahu belum kalau si dia mau lanjut ke mana?" tanya Razta sahabatku. Aku yang tidak tahu siapa yang dia maksud, hanya mengangkat alis bingung.

"Dia mau lanjut ke Pesantren loh katanya, kamu gimana? Kita kan gagal masuk SMA Favorit. Aku sih kayaknya sekolah di sini saja." ujar Razta cemberut.

"Dia siapa sih yang kamu maksud?" tanyaku akhirnya.

"Ihs bego! Siapa lagi kalau bukan Bianji, dari kecilkan kamu cuman suka sama dia." ucapnya gemas.

"Ohh, baguslah akhirnya beda sekolah juga. Bosan kalau ketemu dia terus tiap hari!" jawabku seadanya. Padahal aku sungguh kaget mendengar kabar itu.

"Kok kamu ngomong gitu? Kamu gak kepengen masuk ke Pesantren aja nyusul dia? Sekalian kan bisa keluar dari rumah, satu kali dayung dua tiga pulau terlewati." saran Razta semangat, aku hanya menatapnya datar.

"Keren ya, kamu tahu banyak hal tentang Bian melebih pacarnya. Gak heran pacarnya benci sama kamu, kamu juga dekat pakai banget kan sama Bian." sindirku sengaja.

"Vie, sudah mantan pacar tahu. Mereka putusnya sudah lama, jadi ada kesempatan bagi kamu untuk ...." ucapannya lansung ku sela dengan tajam.

"Cukup Razta! Berapa kali sih aku bilang jangan bahas Bian lagi di depanku, aku tahu kamu juga suka sama Bian jadi gak usah sok baik mau dekatin aku sama Bian. Dari dulu, dari kelas 8 modus kamu mau dekatin aku sama dia. Tapi apa? Kamu yang makin dekat sama dia, dan gak usah bohong bilang gak suka terus!" marahku yang sudah tidak tertahankan lagi. Kulihat Razta hanya diam menunduk.

"Matamu jauh lebih jujur saat berada di dekatnya kalau kamu suka dia, ketimbang mulutmu yang bicara seakan mendukungku." tandasku pelan dan pergi meninggalkannya sendiri di kelas.

****

"Aku mau lanjut ke Pesantren." ujarku saat baru sampai rumah dan duduk di sofa ruang tamu.

Ayah yang saat itu sedang membaca koran, seketika menatap heran padaku. "Alasannya?" tanya Ayah sambil meletakkan koran bacaannya.

"Ingin memperdalam ilmu agama saja, Ayah kan tahu sendiri waktu lulus SD aku memang ingin lanjut masuk Pesantren. Hanya saja waktu itu pendaftarannya sudah tutup, jadi aku pikir sekarang saat yang tepat." jelasku senatural mungkin, agar Ayah tidak  curiga. Mengapa aku ingin sekali sekolah di tempat yang jauh dari rumah.

"Tanggung Vie, hanya tiga tahun. Biayanya juga tidak ada, ekonomi keluarga kita sejak delapan bulan yang lalu karena menurun drastis karena Ayah kecelakaan. Ditambah karena pandemi ini, ada pengurangan karyawan dan sebagainya." jawab Ayah yang membuatku kehilangan kata.

Aku pergi menuju kamar di lantai atas dengan perasaan berkecamuk, kucoba pikirkan ulang rencana ingin pergi dari rumah. Jawaban yang sama kudapatkan, aku memang harus pergi jauh dari rumah ini jika tidak ingin bertambah gila. Tapi dengan cara apa? Haruskah aku kabur saja seperti tiga tahun lalu? Pertanyaan baru muncul, mau kabur kemana? Ujung-ujungnya hanya ke rumah Tante dan kembali pulang ke rumah ini. Haruskah aku bertahan tiga tahun lagi, dan menunggu waktu kuliah baru bisa pergi?

Sepertinya memang tidak ada jalan lain, aku harus bertahan tiga tahun lagi. Entah kejutan apa yang Semesta persiapkan, apapun itu aku berharap semoga hanya hal-hal baik yang terjadi.

****
"Pandemi ini semakin parah, sepertinya sekolah di liburkan dan UN ditiadakan." ujar Razta saat istirahat bimbel untuk perisiapan UN.

Saat ini akhir bulan Februari tahun 2020, di mana kami masih bersekolah seperti biasa dan tengah bimbel untuk ujian tryout ke-dua.

"Bukannya UN ditiadakan mulai tahun depan?" tanya Maura.

"Seharusnya begitu, tapi melihat kondisi yang makin gak stabil bisa saja kan ditiadakan dari angkatan kita." jawab Rasta sambil meminum milo dingin.

"Semoga saja begitu," tandasku pelan.

"Eh Vie, jadi kamu bakalan lanjut di mana?" tanya Maura yang membuatku jadi tidak bersemangat.

"SMA di sini kemungkinan, di mana lagi. Kamu jadinya SMK apa SMA?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Kemungkinan SMA sih Vie," jawab Maura.

"Vie, hubungan kamu sama Ayah gimana?" tanya Silla hati-hati.

"Biasa saja, jangan bahas itu! Aku lagi malas bahas dia, gak guna!" jawabku kesal.

"Okay Vie, sorry ...." ujar Silla merasa bersalah.

"Udah-udah, kok malah jadi gak enak gini kondisinya. Mendingan makan," gemas Aure yang tidak suka dengan perubahan suasana di antara kami.

***

Aku punya empat sahabat, Maura, Silla, dan Aure adalah sahabatku dari TK. Kami selalu bersekolah di sekolah yang sama, entahlah saat SMA ini. Aku masih berharap ada keajaiban yang membuatku sekolah di tempat yang jauh. Sedangkan Razta aku baru mengenalnya sejak masuk SMP, kebetulan juga dia adalah anak teman Ayah. Razta bisa dekat dengan ketiga sahabatku yang lain karena aku mengajaknya bergabung.

Persahabatan kami tidaklah mudah, terlebih aku dengan Razta pernah bertengkar hebat karena masalah cowok. Sedangkan dengan Maura, Silla, dan Aure persahabatan kami saat kelas 6 SD pernah retak karena masalah keluargaku dan aku memilih menjauhi mereka. Tetap bersahabat seperti ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi kami, banyak ego dari diri masing-masing yang kami hilangkan. Karena bagaimanapun, kami menganggap sahabat benar-benar adalah seseorang yang berharga setelah keluarga. Sebesar apapun masalah yang kami hadapi, kami akan selalu berusaha tetap bersama.

                        -Bersambung-

Selamat datang di cerita 
PHILIA -Story Of Viera-
Selamat membaca dan semoga suka dengan cerita ini, serta ada hikmah yang bisa dipetik.

Cerita ini update setiap malam Kamis atau hari Kamis. Jadi nantikan kisah Viera selaluya ≧∇≦

Kepoin saya di bawah sini
Ig : @alfaazzahra_95
Youtube : Zahra Story Official

PHILIA -Story Of Viera- ( END )Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon