27. Luka

135 17 0
                                    

Mendung kala itu membawakan kembali sederet penyesalan yang tidak pernah berhenti menghantuinya.
Hidup dengan rasa penyesalan itu sungguh menyiksa. Sudah cukup bagi Yuta untuk tetap diam dan menahan rasa sakit itu seorang diri.

Tidak ada hal yang berjalan baik dalam hidupnya. Semua ini salah, alur hidupnya terasa sangat salah bagi Yuta. Jika dia bisa memulai dari awal maka sudah Yuta lakukan. Seperti tanda game over dalam sebuah game yang bisa dia ulang lagi dengan tombol try again. Yuta ingin memperbaiki semuanya dan menata hidupnya kembali.

Yuta tidak pernah mengira akan bertemu gadis itu disini, di tempat remang-remang yang tidak seharusnya seorang nona muda datangi.

Lihatlah betapa tidak familiarnya gadis itu dengan keadaan ini. Terutama ketika dia memutuskan datang seorang diri, ini mungkin akan sedikit berbahaya.

Yuta tidak berniat mendekatinya setidaknya itu penuturan awalnya. Lelaki itu dengan santai menghisap rokoknya sambil memandangi gadis itu dalam diam.
Namun ketika ada tangan nakal yang berani mengganggu gadis itu, Yuta tidak tahan lagi untuk tetap diam. Lelaki itu membuang putung rokoknya sembarangan lalu berjalan mendekat.

"Jangan sentuh dia." Tatapannya tajam penuh peringatan. Pria brengsek yang menggoda gadis itu langsung pergi karena dia tau siapa yang dia hadapi, sementara gadis di hadapannya tampak menatap terkejut.

"Na-nakamoto..."

"Sedang apa kau disini Nona Choi? " Potong Yuta.

Choi Sunhye, gadis itu tampak sangat terkejut hingga responnya terhadap pertanyaan Yuta menjadi lambat. Yuta tidak sesabar itu menunggunya dan langsung saja menarik tangan gadis itu menjauh dari keramaian.

"Yuta-san..."

Yuta tidak mengindahkan panggilannya. Lelaki itu meminta Sunhye duduk di meja yang dia pesan lalu dia melepas jaketnya untuk menutupi paha Sunhye yang terbuka.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Kata Yuta. Dia sengaja mengalihkan tatapannya ke arah lain agar tidak membuat Sunhye gugup.
Yuta sadar diri kalau dirinya itu menakutkan dan dia tidak mau Sunhye ketakutan di dekatnya.

"A-aku.... aku hanya ingin minum."

Senyuman miring di bibir Yuta terlihat cukup menyinggung Sunhye. Dua alis gadis itu bertaut dan dia memalingkan wajahnya.

"Kau punya gudang wine di rumahmu, untuk apa kau harus repot datang ke tempat rendahan ini?"

Sunhye mendesah. Tidak taukah Yuta kalau Sunhye tidak ingin dia tau alasannya? Untuk itu Sunhye berbohong.

"Kau benar.... " Sunhye menyilangkan kakinya. Dia bersandar dengan tatapan kosong.

".... katakanlah aku terlalu stress menjadi anak rumahan, di tuntut berperilaku baik dan menikahi laki-laki baik. Tapi tidak seorang pun yang aku suka mau menerimaku." Sunhye tertawa remeh, dia menertawakan dirinya sendiri.

Sementara Yuta masih menatapnya, dia hanya ingin jadi pendengar.

"Yah.. kau tau, mungkin aku bisa bertemu laki-laki random yang cukup tampan disini yang bisa ku ajak menemui orang tuaku akhir minggu ini. Aku rasanya sudah sangat putus asa. "

"Orangtuamu menyuruhmu menikah?"

Sunhye mengangguk lemah,

"Karena aku anak tunggal dan perempuan mereka pikir aku tidak cakap mengelola perusahaan keluarga."

Yuta melihat sorot mata Sunhye yang meredup. Gadis itu menunduk dalam dan memaksakan tersenyum meskipun air matanya sudah berkumpul di pelupuk matanya.

Yuta menghela nafas. Sampai kapan pembahasan tentang anak laki-laki yang lebih istimewa daripada anak perempuan ini berakhir? Ada apa dengan pola pikir orang tua jaman dulu? Kenapa mereka selalu meragukan anak perempuan?

Sesuatu dalam diri Sunhye mengingatkannya pada Yuhi. Dan Yuta sangat tau apa yang Sunhye rasakan.

"Ayo." Yuta tiba-tiba berdiri dan membuat Sunhye kebingungan.

"Kemana?"

"Menemui orang tuamu. Ayo kita menikah."



**********



"Chenle aku baik-baik saja." Yuhi itu keras kepala dan Chenle juga. Saat kedua sifat itu bertemu, akan terjadi perang argumen yang sangat lama di antara mereka.

"Baik-baik saja bagaiamana, kau mimpi buruk semalam, dan kau menangis histeris. Kau tidak tau betapa khawatirnya aku??"

Yuhi menatap mata Chenle dengan dalam.

"Kau mengkhawatirkanku??"

"Tentu saja."

Senyuman tipis mendadak terbit dari bibir mungil Yuhi.
Yuhi memunggungi Chenle untuk menyembunyikan senyumannya itu.
Yuhi merasa bahagia, ini pertama kalinya dia merasa sangat disayangi oleh seseorang.

"Tapi menemui psikolog itu berlebihan, aku tidak gila."

"Kau trauma." Sergah Chenle.

Yuhi berbalik menatap Chenle. Lelaki itu sangat tidak suka di bantah, Yuhi tau itu. Tapi Yuhi sungguh tidak ingin mengumbar masalahnya pada orang lain sekalipun itu psikolog. Dia merasa belum siap untuk mengingatnya, dia belum siap untuk menceritakan ini pada siapapun. Ini menyakitkan, membuka luka itu sangat sakit tapi menyimpannya seorang diri juga tidak memperbaiki apapun.

Yuhi berjalan maju secara perlahan. Tangannya terbentang dan meraih tubuh Chenle untuk dia peluk. Perasaan nyaman ini menjalarinya ketika kepala Yuhi berada di dada bidang Chenle. Dan dia begitu senang ketika Chenle juga membalas pelukannya.

" aku akan menyembuhkan dikiku sendiri... "

"Bagaimana kau akan melakukan itu?"

"Seperti ini, tetaplah disisiku, dan peluk aku ketika ketakutanku datang."

"Baiklah. Aku akan tetap disisimu, kau bisa memegang janjiku."








"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Young Master | Zong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang