Asavella 🍁41

Începe de la început
                                    

“TOPENG PELAWAK TEMEN KITA PECAH!! DIA PENENGAH YANG SELALU DAMAIKAN KITA! PECAH! LO TAU KENAPA? KARENA LO. LO PENAH LIAT BAGUS NANGIS? LO MANA TAU LIAT! LO TERLALU SIBUK SAMA LUKA LO DI SINI!”

“HATINYA RETAK KARENA POSISI SENI DIA BUAT NGEHIBUR LO, UDAH DIGANTI SAMA SAKA BIRU PRATAMA.”

“Udah,” lirih Bagus seraya menatap hangat Asavella. “Asa enggak salah. Asa temen kita bukan cewek menye-menye. Kalo dia menye-menye. Hari ini dia enggak akan berdiri di hadapan kita. Tapi, kita yang akan hadir di pemakamannya.”

“Lo masih sempet-sempetnya bela, Asa?” Keci heran dengan Bagus yang sekarang menyumpal kembali telinganya dengan headset bertengger.

Bagus mengangguk samar. “Asa enggak salah. Gue yang salah. Gue terlalu yakin cuma gue yang akan menjadi tawanya. Bahkan, suatu saat, gue bisa yang meratukannya."

"Tapi setelah gue pikir-pikir, bagaimana gue bisa meratukannya, sementara gue, hanyalah, seorang prajurit biasa yang berdiri di antara panglima besar dan raja.”

“Gue bisa simpulin sekarang. Gue dikecewakan oleh harapan gue sendiri.” Finish Bagus yang kini melontar senyum tipis sebelum ia kembali memainkan ponsel untuk memutar musik.

“Jadi, kesimpulan dari perdebatan ini. Permasalahan utamanya ada di gue. Haruskah gue menghancurkan diri gue sendiri?” monolog Asa dengan melirik kilas sosok Tio yang Asa tidak tahu, jikalau laki-laki itu sedari tadi diam menatapi hangat sosok gadis yang duduk mendengar beoan Keci.

Tio menggeleng. “Jika ratunya hancur bersama mahkotanya, lantas, para prajurit, raja dan panglima berperang selama ini untuk apa?”

“Lo enggak butuh kita gapapa, Sa. Tapi asal lo tau, satu hal dari kita semua. Kita, yang enggak bisa jauh dari lo,” tanggap Harta menatap hangat Asa. Ingin sekali ia duduk di samping Asa seperti biasa. Mengusap puncak kepala untuk mengatakan semua akan baik-baik aja dan wajar jika pertemanan di antara mereka tengah diguncang besar.

Namun, ia menghargai perasaan Mutiara. Ia tidak ingin gadisnya cemburu. Itu juga akan melukainya.

“Gimana kita semua melanjutkan kisah ini kita jika lo pergi, Sa? Haruskah kita menutup halaman buku sebelum tulisan terakhir itu selesai menjadi penutup halaman, begitu?" tambahnya.

“Keci emang ceweknya suka ceplas-ceplos tanpa ngefliter omongan. Tapi, apa lo tau? Waktu dia denger lo pindah kelas ke MIPA 8. Dia sakit, dua hari demam. Nangis. Dan kadang ke rumah gue, nginep di rumah Tio Cuma buat minta tolong ke gue sama Tio cari kabar soal lo kenapa lo enggak masuk sekolah beberapa hari terakhir ini,” jelasnya begitu detail.

“Tio emang yang ngirim bunga mawar waktu lo dikabarkan masuk rumah sakit. Kita semua datang, tapi salah satu dari orang terdekat lo. Mungkin dia ada di sini di sekeliling kita, ngawasi kita. Salah satu orang terdekat lo ngusir kita. Karena kita duri juga bagi lo.”

“Soal kematian Mama lo, gue dan yang lain kumpul di sini cuma buat doa bareng-bareng. Karena orang terdekat lo. Orang yang sama yang gue dan yang lain temui ngelarang gue buat dateng ke rumah lo. Karena, dia bilang, Asavella enggak butuh—”

“Udah!” Suara Mutiara Meninggi memotong pembicaraan yang belum usai serta mengejutkan semua temannya.

“Bisa nggak gausah bahas kek ginian. Gue capek. Lo semua terlalu sibuk sama Asa sampek lupain gue dan tanya kondisi gue!” gertaknya dengan penuh frustasi.

“Gue lagi hamil! DAN GUE BINGUNG GUE HARUS APA DENGAN ANAK INI!” Mutiara spontan membuat Harta yang disebelahnya mematung diam dengan kerutan samar di dahinya.

“Lo bisa enggak usah bercanda, situasi bakalan panas,” sinis Tio yang di samping Asa seraya menyibak rambut ke belakang. “Lo jangan nambah beban pikiran kita,” sambungnya dengan tiap kata yang ia tekan.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum