Chapter 8

200 56 2
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.

Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/

***

Malam itu suasananya pas sekali. Aku bertengkar dengan Mama, Tante Tiara meninggal, dan Kinan harus pindah ke luar kota.

Di luar, hujan sedang mengamuk. Sesekali petir dan kilat menyambar.

Pencahayaan di kamarku cenderung redup, karena aku mematikan lampu dan hanya menyisahkan lampu meja.

Saat ini, aku sedang merenungkan perkataan Mama yang menusuk kemarin dan Kinan yang akan pindah ke luar kota karena kematian ibunya.

Aku berpikir, bagaimana jadinya hidupku jika tidak bisa melihat benang merah itu?

Bisakah hidupku berjalan lebih baik dari pada yang sekarang?

Mama mungkin tidak akan terlalu membenciku karena suka melantur mengenai benang itu. Aku juga akan terlepas dari perasaan bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Papa. Dan,  mungkin aku tidak akan menyalahkan diriku karena tidak bisa merubah nasib Kinan, seperti sekarang.

Betapa hebatnya itu.

Tapi kebetulan, alam semesta tidak merancang jalan hidupku indah seperti itu. Hidupku sengaja di buat lebih rumit, sehingga aku bisa lebih sengsara seperti sekarang.

Saat aku masih kecil, aku selalu berharap akan ada seorang peri yang bisa menolong dan mengabulkan keinginanku menggunakan tongkat sihir ajaibnya. Kalau ibu peri itu benar-benar ada, hal pertama yang ingin aku minta adalah supaya kemampuan melihat benang takdir orang lain itu menghilang.

Dan malam itu, seseorang benar-benar datang. Hanya Saja dia bukan ibu peri.

Hujan masih mengamuk di luar. Sesekali petir dan kilat akan menyambar, dan listrik baru saja padam.

Aku berjalan tanpa alas kaki dengan bantuan senter hanphone-ku. Aku berencana mengambil lilin dari laci untuk membantu menerangi kamar tidurku.

Hanya saja, saat itu aku seperti melihat sekelebat bayangan seseorang ada di belakangku dalam kamar.

Aku menoleh, tapi tidak mendapati siapa pun di sana.

Hanya ada langit malam dan suara guntur bergemuruh.

Mungkin bayanganku?

Aku kembali mencari lilin, tak terlalu memikirkan bayangan yang tadi.

Kalau itu adalah hantu, aku mungkin tidak akan takut, sungguh. Aku mungkin akan panik sebentar, tapi kemudian akan kembali baik-baik saja.

Tapi kalau itu manusia, aku mungkin akan benar-benar pingsan seperti di film-film.

Alasannya simpel. Selain wajah yang menyeramkan, hantu tidak akan bisa menyakitiku. Tapi kalau itu manusia, aku mungkin akan di culik, di mutilasi, dan mungkin organ-organku akan di jual.

Jelas sekali kalau manusia itu lebih menakutkan.

Tapi tiba-tiba, saat aku akan mengambil lilin dari laci. Terdengar suara dingin datang dari belakangku.

"Halo, Alice."

Seiring dengan suara lelaki itu, kilat menyambar dengan terang hingga memantulkan sosok bayangan di belakangku.

Thread Of Destiny  Where stories live. Discover now