Meski mendapatkan semua itu, Una pikir dua saudarinya akan iri dan membencinya, tapi tidak sama sekali. Bahkan kedua wanita itu sangat dekat dengan Mami. Menerima Mami sebagai ibu mereka.

Lihat saja saat ini.

Mami yang begitu lembut bicara pada Della yang cemberut, padahal malam ini adalah malam pertunangannya. Mami berusaha keras membujuk agar Della tersenyum dan menerima keputusan Om David yang menjodohkan Della dengan anak temannya.

Mami tak pernah memperlakukannya seperti itu. Bagai ibu yang menyayangi anaknya.

Kenapa Mami malah bersikap layaknya seorang ibu pada anak tirinya?

Hal itulah yang dulunya selalu menjadi pertanyaan Una membuatnya semakin mengasingkan diri dari keluarga tersebut. Memilih tak tinggal seatap dengan mereka. Bahkan selama empat tahun terakhir ini, ia tidak pernah pulang. Kalau saja bukan karena paksaan Mami, ia tidak akan menghadiri acara pertunangan Della.

Una mengalihkan perhatiannya pada wanita yang baru masuk ke dalam kamar yang menjadi tempat Della berias. Wanita yang lima tahun lebih tua darinya tersebut. Dalila yang menghampiri Mami serta Della. Ketiganya terlihat sangat dekat dan akrab. Sama sekali tidak ada perasaan canggung. Apalagi saat putri semata wayang Dalila masuk. Bocah lima tahun itu dengan riang dan manja dipangku Mami. Berceloteh tiada hentinya membuat tiga wanita lainnya merasa gemas.

Una segera berdiri lalu keluar dari kamar tersebut. Memilih menelusuri lorong hotel tersebut dengan melamun.

●•••●

Pertunangan Della dan Kemal berjalan dengan lancar. Della yang tadinya saat di kamar menunjukkan ekspresi cemberut, kini tersenyum. Meski hanya senyum tipis, tapi orang-orang beranggapan jika wanita itu bahagia.

Una rasanya ingin melarikan diri saat ini, apalagi saat melihat Mami menghampirinya. Tapi, ia tak mampu. Apalagi saat Mami menyeretnya dan berdesis pelan, menyuruhnya untuk tersenyum.

Mami pun bergabung dengan teman-temannya yang bergaya glamor. Meski usia mereka semua telah berada di atas lima puluh tahun, tapi wajah mereka sama sekali tak terlihat tua. Mungkin mereka tanam benang?

Pikiran Una buyar tentang perawatan apa yang dipakai teman-teman Mami saat Mami mulai memuji dirinya dengan cara berlebihan. Yang hanya ia mampu lakukan, tersenyum canggung. Meski dalam hati mendumel.

"Anakmu cantik, Nuri. Kalau saja saya punya anak laki-laki, bisalah kita jadi besan," sahut salah satu teman Mami setelah mengamati Una. Mami merespon dengan tawa bangga.

"Iya dong cantik. Kan Maminya juga cantik."

"Kuliah di mana, Nak?" tanya yang lainnya dan kini bertanya langsung pada Una.

Una tidak langsung menjawab, membuat Mami mencubit punggung tangannya. Una meringi sakit, tapi tetap tersenyum. Akhirnya menjawab pertanyaan tersebut. "Di Oxford, Tante."

"Sudah wisuda. Masa pendidikannya cuma tiga tahun setengah." Mami mengambil alih pembicaraan, dengan nada bangga tentunya. Lalu menoleh menatap Una. "Kamu dapat gelar cumlaude kan, Sayang?"

"Iya Mi." Lagi-lagi Una tersenyum. Senyum palsu. Terpaksa, karena tidak ingin tangannya merah akibat cubitan Mami. Pujian dari teman-teman Mami ia dapatkan lagi.

Kedatangan Om David membuat teman-teman Mami tidak lagi memusatkan perhatian padanya, tapi kemudian Mami menariknya berdiri. Menyuruhnya untuk mengikuti Mami yang kini bergelayut manja di lengan Om David. Sesekali menyapa para tamu yang dilewatinya hingga mereka tiba di salah satu meja bundar yang diisi oleh dua orang. Satu pria yang sepertinya seusia Om David, dan satunya lagi mungkin seusia Dalila atau mungkin di atasnya.

CERPENWhere stories live. Discover now