What IF- Shafa yang capek dan Prima yang insecure 2

1K 99 3
                                    

Prima benci sesuatu yang abstrak. Katanya sempurna itu berbeda-beda. Sempurna menurutnya belum tentu sempurna menurut orang lain. Menjadi sempurna bagi Shafa itu sebenarnya bagaimana? Perihal itu sampai kini Prima masih meraba.

Bukan bermaksud tak percaya, sebab setiap menghabiskan waktu bersama Prima dapat dengan jelas raut bahagia Shafa. Tapi, senyum itu lebih lebar saat bersama hasbi 'kan? Shafa yang selalu terbahak karena guyonan Hasbi, Shafa yang selalu merajuk manja saat dijahili Hasbi. Sempurnanya Shafa seperti itu, ya?

Tadi setelah panggilannya diputuskan secara sepihak, Prima meninggalkan tumpukan kuesionernya dan segera menyambar kunci mobil di meja. Lelaki itu tak langsung menghampiri Shafa. Mobilnya berhenti di depan penjual bubur ayam khas Cirebon kesukaan Shafa, mengantri selama hampir empat puluh lima menit dan kembali bertarung dengan macetnya jalanan Jakarta.

Prima tak mengeluh. Sedikitpun ia tak merasa keberatan, karena ia sadar, kali ini Prima kembali berbuat salah. Prima sadar ini bukan yang pertama kali, bahkan laki-laki itu sendiri juga tidak ingat ini kali keberapa. "Maaf Yang ...."

Prima itu tak tahu waktu, tak kenal tempat, dan tak pandai baca situasi saat melakukan penelitian. Mungkin itu yang membuatnya berbeda dengan Hasbi. Ah, lagi-lagi laki-laki itu. Prima harusnya tak ambil pusing. Toh, Shafa sendiri memilihnya.

Namun kadang Prima iri dengan anak laki-laki itu. Kenapa? Kenapa Hasbi selalu mengisi tempatnya yang kosong secepat itu?

Mobil Prima sudah berhenti di pekarangan rumah Shafa. Lebih tepatnya di samping mobil Hasbi yang terparkir di sana lebih dulu. Lelaki itu diam tak berkutik. Mesin mobilnya ia matikan agar eksistensinya tak mengganggu dua orang yang sedang bercengkrama di depan sana.

"Capek, A. Harusnya aku nggak marah, ya, waktu dia lebih mentingin penelitiannya dari pada kencan kita. Itukan tuntutan pekerjaan," ujar Shafa dengan lesu. Hasbi yang duduk di sampingnya segera meraih selembar tissu dan menyerahkannya ke hadapan Shafa yang menahan isak.

"Jangan makan ingus," kata Hasbi.

Shafa menoleh, mengambil tissu tersebut dengan kasar dan memberikan pukulan cukup keras di pundak Hasbi. Yang dipukul hanya tertawa kecil sambil memperhatikan pergerakan Shafa lamat-lamat. "Padahal Aa mau curhat yang bahagia. Tapi kamunya teh lagi sedih, ya?"

"Curhat apa?" tanya Shafa.

"Nggak jadi, deh. Besok-besok aja." Shafa berdecak malas lalu dengan sekuat tenaga menggoyang-goyangkan tubuh Hasbi agar lelaki itu menceritakan apa yang tengah berkeliaran di otaknya.

Hasbi terkekeh pelan. Kemudian dengan lembut tangannya meraih telapak tangan Shafa yang masih menggenggan ujung kemejanya hingga kusut. "Iya-iya. Curhatnya jangan di sini, deh. Ntar Papa nguping gebetan Aa malah jadi Ibu tiri kamu."

"A Hasbi! Aku bilangin Papa, nih, ya!"

"Bercanda atuh, Shaf! Ngaduan, ih! Mau diceritain apa enggak?" Hasbi melipat kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum remeh. Shafa yang sudah kepalang penasaran akhirnya menutup bibirnya perlahan lalu menatap lurus Hasbi yang tiba-tiba cosplay rintik sendu.

"Ingat nggak projek Titik nol yang aku ceritain tempo hari?"

Shafa mengangguk cepat.

"Di sana aku ketemu seorang perempuan yang aneh banget. Namanya Arunika, orangnya cantik tinggi tapi nggak banyak omong. Selama kegiatan aku cuma dia satu-satunya peserta yang serius, sesuai jadwal pokoknya yang paling produktif, deh. Menurut pandangan aku, ya."

Shafa tersenyum mengejek lalu tangannya dengan bebas menepuk pundak Hasbi seraya berkomentar, "Itu, mah, karena kamu liatin dia terus. Bener 'kan?"

"Iya juga, sih. Tapi beneran, loh, Shaf. Kalau kamu ada di sana kamu pasti bisa liat langsung gimana ngambisnya dia. Bahkan dari wajahnya aja kamu bisa baca kalau dia nggak mau menyia-nyiakan uang pendaftaran sedikitpun."

"Oke ... terus konteks bahagianya di mana?"

"Kamu turun jabatan, Shaf. Aku ... mungkin sedang jatuh cinta? Kamu pasti bakal ngetawain ini, tapi sepertinya aku jatuh cinta pandangan pertama sama dia," jelas Hasbi.

Shafa mengangga tak percaya. Bukan karena sedih apalagi sakit hati. Karena sedari awal Hasbi hanyalah sosok kakak baginya. "Apa yang buat Aa jatuh cinta sama dia?"

"Nggak tau? Mungkin karena wajah polosnya yang nggak polos-polos banget? Atau suara lembutnya waktu bantuin peserta lain? Aku juga nggak tahu gimana pastinya. Toh seperti kata dia, cinta itu bagian dari abstrak 'kan?"

"Ciee. Udah bahas teori tentang cinta aja, nih. Jadi sekarang udah sejauh apa PDKT-nya? Si Mbak udah luluh?" tanya Shafa dengan semangat. Kini senyumnya makin melebar sampai yang di ujung sana merasa sesak sendirian.

"Susah, Shaf. Dia perempuan berprinsip. Aku bingung gimana ngedekatinnya," adu Hasbi.

Shafa mengangguk paham lalu jari telunjuknya bertengger dibawah dagu pertanda gadis itu sedang berfikir keras. "Apa aja, deh. Asal jangan terlalu cepat dan terang-terangan kayak waktu Aa deketin aku dulu. Satu fakultas jadi tahu."

"Kalau sama kamu, mah, kemarin cuma buat bercanda. Yang sekarang, kan, buat dibawa ke pelaminan. Beda strategi, dong!"

"Halah! Buat bercanda tapi move on-nya ketunda-tunda!" Shafa tertawa lepas hingga garis mata gadis itu terlihat. Tangannya yang bebas memukul pundak Hasbi yang menghela napas pasrah di sampingnya.

Sekali lagi tawa itu membuat Prima meringis di dalam mobil. Prima raih ponselnya lalu mendial sebuah nomor di sana.

"Hallo. Maaf sekali, Bu Arunika sudah pulang? Analisis Kuesionernya kita lanjutkan hari ini saja bisa, Bu?"

Setelah mendapat jawaban kunci mobil kembali berputar menghasilkan mesin-mesin yang tadinya mati untuk siap bergerak. Prima tidak perduli dua insan di dalam sana menyaksikan kepergiannya atau tidak. Yang bisa Prima lakukan adalah pergi, selesaikan dan kembali dengan waras.

Untuk saat ini, sempurnanya Shafa masih ada pada sosok Hasbi, ya?

Untuk saat ini, sempurnanya Shafa masih ada pada sosok Hasbi, ya?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Medan, 08052022

PRIMADONAT |Mark lee|Where stories live. Discover now