11. Orang dalam

1.8K 224 81
                                    

"Shafa, ayah sudah mau berangkat. Nanti kamu minta diantar Prima saja ya," teriak Bunda dari luar sambil mengetuk pintu kamar Prima sebelumnya.

Pagi itu sudah ketiga kalinya Bunda meneriaki Shafa dari luar kamar. Di hari pertamanya bekerja di kantor ayah, seluruh rumah ikut merasakan hiruk piruknya. Bunda sudah membangunkannya sejak pukul lima, ayah memberikannya beberapa buku pendukung yang katanya dapat menggali kembali ingat Shafa tentang materi arsitektur yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

Sebenarnya Ayah tidak perlu melakukan itu. Mungkin ayah lupa jika Primaraka, putranya, suami Shafa, adalah seorang dosen arsitektur yang mampu mengurangi jumlah mahasiswa lulus hanya dikarenakan tanda baca. Ya, sekiller dan setidak masuk akal itulah seorang Primaraka. Jika pria itu tidak menjadi suaminya mungkin Shfa sudah memblacklist lelaki itu dari hidupnya. Semuanya mendukung Shafa. Kecuali Prima.

"Iya Bun!" balas Shafa sambil menggeser kaki yang melingkari tubuhnya.

Shafa bukannya tidak serius ingin bekerja. Wanita itu bahkan sudah bangun sebrlum Bunda meneriakinya dari luar kamar. Namun, tubuhnya tidak bisa bergerak barang seinchipun. Di balik selimut tebal itu tubuhnya dikukung oleh kaki dan tangan Prima.

"Nggak usah ngantor," gumam Prima lalu mengertakan pelukannya.

"Aku mau kerja."

"Nggak usah. Di rumah aja, hari ini aku nggak ada kelas kok," gumam lelaki itu lagi dengan kedua mata yang masih terpejam. "Yaudah, kamu istirahat di rumah. Aku mau ke kantor." Shafa kembali mendorong tangan dan kaki Prima yang melingkari tubuhnya.

Shafa yang ada dalam dekapan hangat Prima sebenarnya sudah sangat putus asa. Shafa bukannya diam saja ketika sang suami terang-terangan melarangnya untuk bekerja sebagai pegawai kantor.

Saat suara tangis Taro, anak tetangga, terdengar hingga kamar mereka tiba-tiba sebuah ide mucul. Shafa menggeser tubuhnya membelakangi Prima. Kemudian dalam sepersekian detik suara tangis Taro bercampur dengan isakan Shafa.

"Eh." Prima mengangkat kakinya dan membebaskan tubuh Shafa yang kini sudah bergetar karena menangis.

"Yang," panggilnya pada Shafa yang menutup mukanya dengan bantal. Shafa sebenarnya sudah tidak sanggup untuk pura-pura menangis. Rasanya wanita itu ingin tertawa kecang saat Prima malah ikut menangis, menarik-narik bantal yang ada di muka Shafa sambil berkata, "Yang, jangan ditutup mukanya. Nanti sesak nafas."

"Nggak mau! Biar aja mati sesak nafas!" pekik Shafa yang membuat Prima semakin kalang kabut.

Lelaki yang hanya menggunakan boxer serta kaos kutang itu turun dari ranjang dan berjongkok di samping Shafa sambil ikut terisak.

"Jangan gitu dong yang ... yuk, aku anter ke kantor yuk." Shafa diam-diam tersenyum di balik bantal. Kemudian wanita itu menurunkan bantal yang menutupi wajahnya perlahan. Hal pertama yang ia temui adalah wajah Prima yang penuh dengan peluh, entah itu tangis atau keringat.

"Ke kantor ya?" tanya Shafa dengan wajah sedih.

"Iya! Kamu siap-siap sana, nanti telat loh!" Shafa melemparkan selimut yang menyelimuti kakinya lalu memeluk leher lelaki yang masih berlutut di sampingnya. "Makasih sayang ku," pekiknya kegirangan lalu memberikan sebuah kecupan di rahang tegas Prima sebelum berlari ke arah kamar mandi.

<<<<<<<>>>>>>>>>>

Shafa melotot tak percaya pada lelaki yang duduk di kursi pengemudi itu. Primaraka menceramahinya bak seorang ayah yang tengah marah pada anaknya yang terlambat ke sekolah. Keduanya sudah sampai di depan gerbang kantor tapi Primaraka tidak juga berniat untuk membuka pintu mobilnya.

PRIMADONAT |Mark lee|Where stories live. Discover now