14. Asinan Bogor

1.4K 186 57
                                    


Masih tentang si Kota Hujan. Nyatanya, hujan malam hari di Kota Bogor tak kalah romantasi dari Kota Bandung si kotanya romansa. Malam itu dari balik jendela kamar hotelnya Shafa menyesap coklat panas pesanannya, mengamati rintikan air dari langit yang membuat kota Bogor terasa semakin sunyi.

Saat suara knop pintu terdengar Shafa mengalihkan pandangannya. Di sana ada Primaraka yang berdiri sambil mengusak-usak rambutnya yang basah sehabis mandi dengan handuk. "Tuh, kopinya." Shafa menunjuk pada secangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya.

Prima mengangguk, melemparkan handuknya ke atas kasur lalu ikut bergabung bersama Shafa yang asik mengamati sepinya jalanan berbasuh hujan. "Udah telfon bunda?" Shafa mengangguk dan kembali menyesap coklat panasnya.

Tadi selepas acara selesai, Primaraka tiba-tiba terserang flu. Wajahnya memerah, dahinya panas dan ada cairan yang berkali kali membuat hidungnya gatal. Kata Budhe, sih, Prima terserang flu karena adaptasi cuaca. Tapi kalau dari yang Shafa lihat, flu yang menghampiri lelaki itu adalah bentuk karma karena sudah mempermalukannya di depan Jehan, sepupunya.

Mengetahui hal itu Budhe dengan tegas melarang keduanya untuk kembali ke Jakarta. Bahkan wanita yang seharusnya lebih mengkhawatirkan putrinya itu malah mengantar Prima dan Shafa sampai ke depan pintu kamar hotel yang ia pesankan.

Kesimpulan yang dapat Shafa ambil adalah Prima pasti bintang di keluarganya.

"Pesen asinan yuk," ajak Shafa.

Prima yang baru saja mendudukkan dirinya di atas Sofa menoleh sejenak lalu menjawab, "Boleh, pesen aja."

Shafa tersenyum senang dan dengan cepat ia raih telepon kabel yang ada disamping kasur yang terhubung dengan si resepsionis di lobby sana. Wanita itu sampai mengetuk-ngetukkan jarinya sangkin semangatnya menunggu panggilan itu terhubung.

"Hallo, selamat malam."

Shafa tersenyum senang lalu menjawab sapaan itu, "Malam. Mbak saya dari kamar 721. Saya mau asinan bogornya ya. Nanti bill-nya langsung di antar ke kamar aja mbak."

"Hujan-hujan seperti ini buk?" tanya resepsionis itu ragu-ragu.

"Emang makan asinan ada aturan nggak boleh pas hujan?" Shafa menciptakan hawa panas disebrang sana. Resepsionis itu menegak ludahnya pelan sebelum kembali menjawab, "Hm, anu—Bukan begitu buk---"

Prima mengambil telpon gengam itu lalu mengatakan sesuatu sambil berbisik, "Iyain aja mbak. Istri saya kalau ngidam serem."

<<<<<<<>>>>>>>>

"Pusing banget kepalaku yang," keluhnya lalu meletakkan cangkir kopinya di meja. Kemudian tanpa perintah kepala lelaki itu sudah bersandar di paha Shafa yang duduk di sofa.

Shafa tidak tahu mengapa tangannya bergerak begitu saja menuju kepala yang berbaring di paha polosnya. Tangannya mengusap tanpa ragu helaian rambut yang masih lembab itu lalu memberikan sedikit pijitan hingga si empu memejamkan matanya.

"Yang," panggil Prima dengan mata tertutup.

"Hm?" Prima menarik tangan Shafa yang baru saja bebas dari segelas coklat panas. Kemudian ia letakkan tangan tersebut di perpotongan lehernya yang terasa hangat. Shafa masih diam sejauh ini.

"Dompet aku ketinggalan di mobil, deh, keknya," seru Prima.

Ngomong-ngomong masalah dompet, Shafa jadi teringat sesuatu yang nggak enak. Wanita itu berfikir sebentar sambil memainkan rambut suaminya. Kemudian dalam hitungan detik rambut lelaki itu ia tarik kuat, kepalanyapun ia dorong menjauh dan selanjutnya Shafa duduk membelakangi Prima.

PRIMADONAT |Mark lee|Where stories live. Discover now