16. Ah, masa sih? (2)

1.2K 179 43
                                    

"Lo masih suka sama Prima 'kan?" Shafa tersenyum miring lalu kembali menarik sepiring brownis cokelat miliknya. Tidak ada yang tahu bahwa dalam hati wanita itu mati-matian membualkan mantra agar tak percaya.

"Shaf," seru Jihan tak percaya pada respon sahabatnya itu. Jihan kembali meraih kedua tangan Shafa, menatap sendu pada mata yang menunduk itu.

Shafa menarik tangannya menjauh. Wanita itu menatap tajam ke arah Jihan dan berkata, "Lo yang harusnya stop Ji. Gue nggak tau udah seberapa lama lo mempengaruhi gue gini. Tapi lo harus berhenti mulai dari sekarang."

Shafa membongkar isi tasnya gusar, mencari sebuah kartu atm milik suaminya dan berniat pergi secepatnya dati hadapan Jihan.

"Lo salah besar kalau ngira gue masih suka sama si Prima." Shafa yang sudah tegak kembali menoleh.

Kemudian sebelum Shafa meninggalkannya Jihan ikut berdiri, mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya dan kembali berkata, "Bulan depan gue nikah. Gue harap lo dateng tanpa Prima."

"Oh iya ...." Jihan kembali menoleh dan meraih pundak Shafa.

"Lo mungkin nggak percaya sama gue. Tapi lo percayakan sama bi Ani?"

"Bi Ani, penjaga kantin?" Shafa bertanya ragu-ragu.

"Iya. Bi Ani yang selalu jadi tempat curhat lo. Hanya lo dan dia yang tau, apa yang sebenarnya terjadi," jelas Jihan.

Keduanya memutuskan untuk meninggalkan meja dan percakapan itu sampau disini. Shafa mengambil pesanan suaminya dan berjalan di belakang Jihan yang pergi terlebih dahulu.

"Ji ...."

"Gue harus temui Bi Ani ya?" Pertanyaan yang diajukan dengan suara parau itu membuat Jihan menghentikan langkahnya.

Ia pandangi lamat-lamat wajah Shafa sambil tersenyum simpul. Kemudian tanpa ragu Jihan membawa Shafa ke dalam pelukan terhangat yang pernah ia miliki.

Tak lupa Jihan juga membisikkan sesuatu tepat ditelinga Shafa, "Harus, demi hati nurani lo."

<<<<<<<>>>>>>>

Pagi itu Prima dibuat hilang semangat karena kehadiran sosok lelaki bernama Hasbi dikediamannya. Masalahnya ini masih pukul pagi dan laki-laki itu sudah nangkring di depan pagar sambil bersandar ke mobilnya.

Saat Prima tanya apa yang ia lakukan disana pria dengan kemeja orange itu malah tersenyum jahil, menaik-naikkan alisnya dan menjawab, "Ngapel bos."

Dan saat itu juga Prima menyesal tidak mempersulit sidang proposal Hasbi dulu. Harusnya Prima sabotase saja biar sekarang Hasbi masih sibuk sama skripsinya bukan sama istri Prima.

"Mau kemana, sih, pagi-pagi begini?" tanya Prima saat Shafa keluar dari rumah dengan kemeja berwarna senada dengan milik Hasbi.

"Aih, kemeja kita aja mirip. Udah pas banget ini mah jadi jodoh." Shafa tertawa kecil sambil mengikat rambut panjangnya.

"Yang ...."

"Ada urusan bentar. Nanti aku langsung ke kantor aja," ujar Shafa. Wanita itu kini sudah berdiri di samping Hasbi yang menggandeng tangannya.

"Yakan bisa aku aja yang anter," protes lelaki itu. Prima yang tadinya melipat tangannya didepan dada melayangkan sebuah pukulan pada lengan Hasbi yang dengan santainya merangkul pundak Shafa. "Tangannya!"

PRIMADONAT |Mark lee|Onde histórias criam vida. Descubra agora