48. Sour Plum

4.3K 657 61
                                    

Udah baca part 47 di grup rahasia?
Kuanggap udah, ya. Nanti mungkin ada part lain yang kupost di sana juga. Biar grupnya nggak diem aja 😅

Di karyakarsa udah nyampe part 98-99 satu lagi ending. Ayo bacaaa dan tebak aku bakal ngasih ending kayak gimana 😙

Part reguler langsung tamat akan kupost hopefully bareng atau habis part premium tamat supaya kalian bisa bareng2 baca extra part yang nggak akan kuupload di wattpad

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Part reguler langsung tamat akan kupost hopefully bareng atau habis part premium tamat supaya kalian bisa bareng2 baca extra part yang nggak akan kuupload di wattpad.

Untuk part ini 500 votes ya nanti kupost part selanjutnya.

Mungkin kalau semua part dan extra part di karyakarsa udah kupost semua, di wattpad akan update lebih cepat. Asal pada tetep antusias dengan komen2nya, dooong. Kalau enggak, berarti kan udah pada nggak mau ngikutin. Buat apa update cepet, kan?

Di KBM udah update sampai part 59

Di KBM udah update sampai part 59

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nggak usah salty, ya... semua penulis lain juga monetize karya. Jangan sengit sama aku doang 😅
I still love my wattpad readers so much. You make me go this far. Aku hampir ultah wattpad ke-8 lho oktober nanti 🥲

Please be kind enough to follow me on social media 😘

Please be kind enough to follow me on social media 😘

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Oh... my God!
Kelewat bebas, Mina. Kelawat batas! Kelewat bebas dan kelewat batas sekaligus namanya kalau kamu tidur dengan dua orang lelaki dalam kurun waktu beberapa jam dan dua-duanya nggak pakai pengaman. Maksudku... apa sih enaknya sex sampai kamu nggak bisa menahan mereka beberapa detik untuk menyarungi tongkat mereka dengan karet?!
Masalahnya, angry sex memang seenak itu. Momentumnya yang menentukan, jadi kalau dijeda barang sebentar (dan yang namanya memasang kondom itu kadang suka drama kalau buru-buru, yang kejepret lah, yang robek, yang ini, itu) takutnya pacuan adrenalin keburu turun, jengkelnya hilang, dan ujungnya jadi regular sex yang so-so. Apalagi... aku udah nggak nafsu-nafsu banget sama Adrian sejak merasakan permainan Mahmoud yang tanpa angry-angry-an pun udah luar biasa....
Astaga... aku menggusak rambutku dengan gemas campur kesal pada diri sendiri. Bukannya JUSTRU ITU, Minul?! Bukannya bagus kalau adrenalinnya terus turun, siapa tahu malah nggak jadi kepingin, dan nggak jadi begituan?! Ya ampuuun... aku membenamkan mukaku ke bantal dan memukuli permukaan kasur di sekitarku. Adrian sudah langsung pulang gara-gara aku histeris saat dia memuncratkan sperma di perutku. Aku benar-benar nggak nyangka dia nggak mengingatkanku soal kondom. Itu kan barangnya! Dia yang harus punya tanggung jawab buat pakai, dong! Brengsek.
Hal pertama yang kulakukan begitu ditinggalkan sendiri dan Mahmoud belum kembali adalah mengecek kalenderku. Kalau kuitung-itung, sih... ini bukan masa suburku. Seharusnya aman. Seharusnya. Aku berjingkat dari tempat tidur ke kamar mandi dan memenuhi bak mandi dengan air hangat kemudian berendam di dalamnya setelah sebelumnnya membersihkan bagian-bagian tubuhku yang harus dipastikan kebersihannya.
Mahmoud nggak boleh tahu tentang ini.
Aku meraup mukaku dengan segenggam air hangat dan menyisir rambutku yang basah ke belakang dengan jemari. Okay... kebodohan sudah telanjur dibuat, nggak ada guna menyesalinya. Sekarang yang harus kulakukan adalah memikirkan bagaimana supaya Mahmoud nggak pernah tahu hal ini. Jelas nggak boleh. Kalau dia tahu... semuanya bisa gawat. Mahmoud bakal mengamuk, dia akan meninggalkan apartemen, meninggalkan HBM, menelantarkan harapan orang sekantor gara-gara peristiwa konyol ini.
Sudah nyaris pukul empat dini hari, aku sudah menghabiskan secangkir susu hangat dan menunggunya di dapur setelah selesai mandi. Mataku sudah sangat mengantuk. Aku memutuskan untuk berbicara dengannya besok pagi saja, mungkin justru akan lebih meyakinkan kalau aku tidak terlihat sangat terdesak ingin memberitahu tak terjadi apa-apa antara aku dan Adrian. Kuletakkan cangkirku ke wastafel lalu kutinggalkan dan berjalan terhuyung menuju kamar. Saat aku menghampiri saklar lampur dapur, terdengar card lock pintu berdenting. Tanganku urung menekan saklar lampu. Aku memaku, beberapa saat kemudian kulihat Mahmoud berjalan lurus dan berhenti. Perlahan dia menoleh ke arahku.
Kami bersitatap seperti dua orang dari tempat yang jauh dan saling menemukan di negeri asing. Napasku tertahan. Kurasa Mahmoud juga menahan napasnya. Saat aku meneguk ludah, dia juga melakukannya sambil berdeham. Kepalanya menunduk. Usai membasahi bibirnya, dia mendongak lagi memandangku.
“Adrian...?” tanyanya.
Entah dengan alasan apa aku merasa posisiku lebih tinggi darinya. Seperti anak kecil, aku merasa menang karena dia bicara duluan. Aku mendecapkan bibir, “Sudah pulang,” jawabku sambil melanjutkan menekan saklar lampur. Dapur gelap gulita. Cahaya hanya datang dari ruang tengah. Aku harus melewati Mahmoud yang berdiri tiga langkah dariku untuk mencapai pintu kamar. Aku termangu bimbang dan akhirnya justru bertanya, “Dari mana saja kamu?”
“Jalan-jalan,” jawabnya pendek.
“Oh...,” ucapku acuh tak acuh. Kurasa aku pantas melakukannya. Aku harus berakting tidak bersalah dan marah karena dia sengaja membiarkanku di depan pintu lift meski aku sudah berusaha menyusulnya. Aktingku sepertinya tak buruk, aku bisa melihat kilat resah itu di rautnya. Dia seperti akan mengucapkan sesuatu dan aku bersikap seakan aku tak perlu mendengarnya.
Aku harus meneruskan ini. Aku harus bersikap secuek mungkin. Kugeser langkahku ke kanan supaya saat aku melewatinya, kami tidak bertabrakan. Aku sangat gugup, takut sekali Mahmoud menduga yang tidak-tidak dan yang tidak-tidak itu memang benar adanya. Semakin aku ingin bersikap biasa, semakin sulit rasanya. Aku nggak tahu apa yang dipikirkan Mahmoud. Langkahku terayun ragu. Tanganku bersinggungan dengan tangan Mahmoud saat kami bersisian dan dia menyentuhnya. Jantungku seperti akan melebur sewaktu ia menegaskan sentuhannya menjadi rengkuhan, jemarinya menggamit jemariku yang otomatis menghentikan langkahku.
Dibanding merasa menang, aku merasa sangat bahagia.
Perutku bergolak, tapi bukan karena mual. Dia bergolak karena ada sebuah gerakan kecil yang membuatku merasa nyaman. Gerakan itu mengalirkan kehangatan ke aliran darahku. Aku menoleh lambat dan Mahmoud menyambutnya. Perlahan, aku membalas gamit tangannya. Senyumku dan senyum Mahmoud sama-sama tertahan. Aku begitu kikuk seperti remaja yang kasmaran, bibirku yang sudah akan tersenyum kupaksa berubah haluan. Aku mengerucutkannya dan membuat Mahmoud gemas. Dia merengkuh rahangku, pipiku, kemudian wajahnya maju dengan canggung sebelum bibir kami berciuman.
“Kamu menyebalkan,” kataku malu sambil memukul dadanya pelan.
Mahmoud mendekap pinggangku, aku menahan dadanya merapat padaku. “Saya minta maaf,” cicitnya sambil menyatukan keningku dan keningnya. Rasa bersalahku lantaran sudah menipunya lenyap entah ke mana dengan tak tahu malunya. Yang bisa kucecap hanya perasaan nyaman dan tentram saat mata kami sama-sama terpejam.
Ada apa ini?
Kenapa aku merasakan gemuruh dalam dada yang begitu menyenangkan?
“Saya cemburu,” bisiknya yang seketika membuka kelopak mataku. Bola mata Mahmoud yang membulat menyambutku, tampak sekali ia mencemaskan reaksiku. “Saya rasa... peraturan keempat saya terlalu mengada-ngada.”
Aku tak kuasa menggeleng meski peraturan keempatnya MEMANG mengada-ngada dan egois. Peraturan keempat itu dibuatnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan kami berdua. Peraturannya seharusnya memang hanya ada tiga karena itu sudah cukup melingkupi semuanya. Konsensual. Rahasia. Tanpa ikatan. Jika peraturan keempat itu tak pernah ada, apa yang kulakukan dengan Adrian bukan sebuah kesalahan.
“Saya seharusnya tidak berhak merasa keberatan jika harus berbagi,” ucapnya pilu.
Aku membungkam mulutnya dengan jariku, lalu menggeleng. Sungguh mati, kalau yang terjadi padaku dan Adrian barusan bisa dicegah, aku juga tak ingin melakukannya. Selama ini aku juga begitu. Aku tidak tidur dengan dua orang pria dalam satu waktu. Bagi pria mungkin biasa, tapi bagi perempuan tidak. Kalau sewaktu-waktu malang datang, perempuanlah yang akhirnya akan kebingungan. Kalau suatu hari aku harus menanggung perbuatanku dengan hadirnya janin tak diundang, paling tidak aku tak akan kebingungan menentukan siapa bapaknya. Tapi di atas semua itu, ucapan Mahmoud begitu menyedihkan. Aku sendiri tak tega. Hatiku tersayat mendengarnya.
“Kamu nggak perlu berbagi,” kataku. Ya. Itu hanya terjadi satu kali. Tak kurang. Tak lebih. Adrian sendiri sekarang pasti sedang ketakutan. Paling tidak sampai aku benar-benar datang bulan, dia pasti akan menghabiskan waktu tercekam membayangkan skandal yang akan menghantui karirnya kalau-kalau aku hamil. Dia akan menjauhiku, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan yang jelas... Mahmoud tidak perlu tahu apa-apa.
“Maksud saya... Bu Mina bukan milik saya, saya tidak berhak membuat peraturan yang hanya menguntungkan bagi saya hanya karena saya... memiliki perasaan khusus terhadap Bu Mina.”
Aku terhenyak. Selama beberapa detik mataku mencelang sementara Mahmoud terus memandangiku dengan sorot teduh. Dia tidak berusaha meralat ucapannya, padahal sebelumnya dia sangat paham bahwa jika ia masih ingin terus berdekatan denganku, aku tidak menginginkan adanya ikatan apapun. Mengungkapkan perasaan khusus artinya dia mengharapkan adanya jawaban. Tunggu dulu. Aku mulai panik. Jangan-jangan dia mau merantaskan hubungan?
Lalu bagaimana dengan proyek HBM nantinya?
Apa ini berarti aku harus berpura-pura menjadi kekasihnya? Astaga... sampai kapan?
Aku masih terpelongo sewaktu Mahmoud tersenyum getir, “Jangan khawatir,” katanya. “Saya tidak akan mengundurkan diri dari perusahaan, atau dari proyek yang sedang ibu siapkan, apalagi pulang kampung. Saya hanya ingin mengakhiri hubungan yang berdasarkan tiga aturan itu.”
Aku mendorong dada Mahmoud dan dia tak mempertahankan dekapannya di pinggangku. Kami berdiri berhadapan berjarak. Aku tidak berusaha menyembunyikan keingintahuanku, atau menyamarkan keterkejutanku dengan berpura-pura tersinggung gara-gara ucapan Mahmoud. Secara nggak langsung, dia sudah tahu aku melakukannya supaya dia mau mengerjakan apapun yang kusuruh. Yang kulakukan kemudian hanya merapatkan jubah tidurku yang berbahan satin lembut supaya dadaku tersembunyi rapat di baliknya.
“Saya sudah memikirkannya baik-baik dan saya rasa... saya sudah bertindak terlalu jauh,” Mahmoud menerangkan tanpa kuminta. “Semula saya pikir, bisa berdekatan dengan orang yang saya sukai pasti sangat menyenangkan. Apapun akan saya lakukan. Nyatanya... beberapa jam terakhir ini saya akhirnya tahu... saya tidak bisa begitu. Saya bukan orang seperti itu. Sebelum saya membuka pintu itu tadi”—Mahmoud menunjuk pintu apartemen—“Saya masih akan berkata bahwa saya tak masalah jika saya harus berbagi, tapi... saya rasa itu omong kosong.”
“Sudah kubilang kamu nggak akan—“
“Ini bukan hanya tentang Adrian,” potongnya dengan nada agak tinggi. “Atau tentang pria lain yang mungkin menarik hati Bu Mina. Ini secara garis besar. Secara lebih luas. Saya tidak bisa melanjutkan hubungan fisik tanpa landasan perasaan ini lebih lama lagi. Hubungan ini menggerogoti diri saya. Saya tidak sanggup. Mulai hari ini saya tidak akan melayani hasrat Bu Mina lagi, atau memuaskan hasrat saya sendiri akan Bu Mina.”
Aku nggak bisa berkata-kata.
Tubuhku menjengit saat Mahmoud mengelus pipiku dan melabuhkan tatapannya di celah antara bibirku. “Bukan berarti saya akan berhenti melakukan apa saja untuk Bu Mina sebab mulai besok pagi saya akan berjuang di jalan yang benar untuk bisa terus berdekatan dengan perempuan yang saya sayangi, syukur-syukur bisa...”—Mahmoud mempertemukan manik mataku dengan manik matanya—“memenangkan hatinya.”
Setelah berkata begitu, dia mengecup keningku dan berjalan mundur menuju kamarnya. Dia menghilang di balik pintu, membiarkanku terpaku di tempatku berdiri sampai sekitar sepuluh menit, sebelum dari kejauhan kurasa aku mendengar kokok ayam jantan.
Mungkin aku sudah gila.

Mungkin aku sudah gila

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Trapping Mr. MahmoudWhere stories live. Discover now