36

2.3K 291 21
                                    




Jennie's Pov

Aku tidak pernah berpikir bahwa pertemuan dengan Lisa membawaku pada titik di mana aku tidak ingin kehilangan dia. Rasa sakit yang tiba-tiba kurasakan saat kami berdua berada di Busan, sekarang aku mengerti perasaan itu secara nyata, dan aku tidak menyukainya. Sebut aku egois, aku mengerti betapa beratnya semua ini untuk Lisa karena aku telah melihatnya dengan mataku sendiri, tapi aku benar-benar tidak akan membiarkan Lisa pergi dengan alasan apapun, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa melihatnya lagi seperti sekarang.

Ketika Lisa mengatakan dia ingin menerima bantuan rumah sakit ini, aku merasa sangat senang. Aku siap jika harus menghadapi Lisa yang marah-marah dan menolak bantuan Dokter Kwon, dan aku rela menelan sakit hatiku untuk kata-kata menyakitkan yang mungkin Lisa katakan, tapi aku merasa lega sebab aku tidak harus melewati semua itu.

Entah metode apa yang digunakan Dokter Kwon untuk membuat Lisa luluh, tetapi aku sangat berterima kasih padanya.

"Sebenarnya, aku tahu bahwa aku membutuhkan bantuan, namun monster di dalam diriku terus membisikkan sesuatu yang membuatku marah dan menolak semua orang. Tapi, ajaibnya Dokter Kwon bisa membungkam monster itu." Lisa berkata, dia masih sibuk bermain-main dengan jariku.

Sejujurnya aku tidak tahu monster apa yang dia bicarakan, tapi aku berasumsi mungkin itu hanya caranya memanggil emosi negatif yang sering menguasainya.

"Apakah karena dia cantik?"

Lisa menatapku bingung. "Aku luluh hanya karena dia cantik? Itu konyol." ujarnya.

Aku terkekeh, "Kenapa kau bereaksi seperti itu? Kau terlihat seperti seseorang yang ketahuan berselingkuh. Atau, apa aku benar? Dokter Kwon benar-benar cantik, bukan?"

"Hmm.. Let see.." Dia menyentuh dagunya seolah sedang berpikir. "Kalau dipikir-pikir.. kau benar." jawabnya kemudian.

"Lisa!" Aku memelototinya dan mendengus kesal. "Kau! Sekarang sudah berani bermain-main denganku, ya?" desisku.

Dia tertawa sebelum bersandar dan meraih tanganku lagi, entah kenapa Lisa suka sekali bermain dengan jariku akhir-akhir ini.

"Itu benar.. sekarang aku tidak punya penghalang atau batasan lagi untukmu, jadi kau bebas melihat diriku yang sebenarnya." balasnya.

"Dirimu yang sebenarnya? Seperti apa memangnya?"

"Well.." Dia tersenyum tipis, matanya masih terfokus pada jari-jariku. "Terkadang aku dingin, terkadang aku hangat. Ada hari-hari di mana aku banyak tersenyum, tetapi ada juga saat-saat dimana aku tidak ingin mengatakan apa-apa. Suatu waktu aku bisa sangat peduli, dan di lain waktu aku tidak peduli pada apapun atau siapapun. Berubah-ubah dan membingungkan orang, itulah aku yang sebenarnya."

"Jadi..kau menyadari itu?"

Dia mengangguk, masih dengan senyum tipis itu, perbedan nya hanya sekarang dia menatapku. "Aku menyadari semua perubahan aneh itu, hanya saja aku tidak bisa mengendalikannya. Selama ini, aku hanya berusaha menyembunyikannya darimu. Tapi kurasa, aku bahkan tidak menyadari bahwa aku tidak bisa menyembunyikannya, bukan?"

"Kau tidak perlu bersembunyi lagi, Lisa.." bisikku.

Lisa menganggukkan kepalanya, yang entah kenapa aku asumsikan, tanpa keraguan. Senyum itu, dia tidak pernah tersenyum begitu percaya diri ketika memutuskan sesuatu, tetapi sekarang dia menunjukkan bahwa anggukan yang baru saja dia berikan bukan hanya jawaban kosong, itu bukan hanya sebuah jawaban yang dia berikan padaku agar aku berhenti berbicara tentang bagaimana dia tidak lagi harus menyembunyikan seluruh emosinya.

"Jennie-ya.." Lisa memanggilku, suaranya lembut sekali.

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya dan bergumam, "Hmm?" tanpa menatapnya.

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now