4. Pencopet

9.6K 1K 12
                                    

Sore itu ketika bel pulang sekolah sudah berbunyi. Neo yang sedang menunggu mobil jemputannya di halte dekat sekolah tampak melamun.

Cahaya jingga yang menyorot ke arah tubuhnya membuat Neo mengerjab beberapa kali. Pikirannya melayang, memikirkan seorang cowok yang akhir-akhir ini terus mengganggu pikirannya.

Sosok Geometri Rahesa yang terkenal dingin itu membuat Neo kebingungan. Apalagi ketika Geo sampai menyusul ke kelasnya. Membawakannya sebuah kue kesukaan Neo.

Apalagi ketika adegan Geo yang sedang menjilat jarinya yang penuh krim kue. Membuat Neo tersenyum tipis. Dadanya berdebar-debar. Pipinya merona, terasa kontras dengan cahaya senja yang terus membelainya dengan lembut.

Neo mengeluarkan ponsel mahalnya. Berniat untuk menelpon supir pribadinya.

Ketika ia berniat menggeser layar ponselnya. Sebuah tangan kasar merebut ponselnya dengan cepat. Neo mendongak, menatap bingung pada sosok pria yang sudah lari dengan membawa ponselnya.

Butuh beberapa menit untuk Neo mencerna kejadian yang tiba-tiba itu. Ketika otak lemotnya selesai menerjemahkan informasi yang dilihat oleh matanya. Seketika itu Neo melotot.

"Anjir! HP gue dibapet!" teriaknya kencang.

Pemuda pendek itu segera bangkit dari duduknya. Berlari mengejar seorang pria yang telah mencuri ponsel mahal miliknya.

"Copet! Copet!" pekik Neo dengan suara keras. Matanya melirik ke orang-orang di sekitarnya. "Bantuin saya woi! Hp saya dicopet!"

Tapi beberapa orang yang ada di tempat kejadian malah diam saja. Orang-orang itu hanya menatapnya dengan prihatin. Tanpa ada niatan untuk membantunya. Karena mereka mengira kalau Neo itu pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Lagipula bukan sekali dua kali pasien rumah sakit jiwa yang ada di dekat situ kabur, dan berteriak kemalingan seperti yang Neo lakukan.

"Copet!" teriak Neo lagi dengan suara keras.

Ia berhenti berlari. Matanya menatap tidak rela pria yang semakin jauh dari pandangannya. Dadanya terasa sesak. Neo tidak sanggup untuk berlari lagi.

Rasa sakit yang ia rasakan menjalar ke kepalanya. Membuatnya berjongkok sambil menutupi kedua telinganya.

Neo menatap nanar pada tetesan darah yang mulai menetes dari hidungnya. Tetesan darah itu terjatuh ke tanah.

Ia tidak peduli lagi dengan ponselnya yang dicopet, toh uangnya banyak. Dengan cepat Neo mengelap darahnya. Lalu mengambil beberapa obat di tasnya. Meminumnya tanpa ragu.

"Lo ngapain?"

Sebuah suara membuat Neo kaget. Remaja manis itu mendongak. Menatap seorang pemuda tampan yang sedang duduk di atas motor mahalnya.

"Lo nangis?" tanyanya lagi.

Neo menggeleng dengan cepat. "Bukan urusan lo," jawabnya jutek. Tangannya dengan cepat memasukkan bungkus obat-obatan miliknya ke dalam tas.

"Mau gue anter?" tanya Geo sambil mengangkat alisnya.

"Gak!" dengus Neo sambil berdiri. Ia memalingkan wajahnya dari Geo.

Geo mengangguk paham. "Oh, yaudah," ujarnya datar sambil menyalakan kembali mesin motornya.

Dari sudut matanya, Neo yang melihat Geo hendak meninggalkannya hanya bisa menekan egonya. "Geo!" panggilnya dengan suara keras.

Matanya bergerak liar. Jari-jarinya bergerak liar, tanda remaja itu tengah gugup. "Gu-gue nebeng ya?" ucapnya pelan nyaris tidak terdengar.

"Tadi nolak. Sekarang manggilin. Dasar plin-plan."

Neo mendengus. "Jangan geer! Gue nebeng karena kepepet. Barusan gue habis dicopet!" jelas Neo sambil naik ke atas motornya Geo.

"Gue gak nanya."

"Sialan lo!" maki Neo kesal sambil memukul helm yang Geo kenakan dengan keras.

"Astaga Neo! Kepala gue pusing!" protes Geo sambil mengernyit. "Belum juga nikah, udah KDRT."

"Nikah pala lo pecah!"

"Hm." Geo melajukan motornya tiba-tiba membuat Neo melotot kaget.

"Geo sialan! Nyawa gue hampir melayang!" teriak Neo dengan kedua tangan yang refleks memeluk tubuh Geo.

"Sengaja," jawab Geo sambil terkekeh.

"Dasar modus!"

Arsenic [END]Where stories live. Discover now