Iya. Gadis itu memilih untuk berangkat sendiri untuk sekolah pertama seusai kejadian-kejadian yang tidak berhenti untuk menimpa tanpa mengenal hari maupun waktu. Dibalik itu juga, ia akan mencoba untuk mengalihkan semua yang terekam belakangan ini hanyalah sebuah boomerang dan mimpi buruk.

Kini, ia mulai memarkirkan sepedanya di antara barisan rapi motor milik para siswa SMA MERPATI SILA LIMA. Tatkala, ia mulai merajut langkah untuk ke arah pintu gerbang utama sekolah. Rambut pendek yang terurai, serta masker untuk mematuhi protokol sekolah.

Asa bisa melihat tiga remaja baru saja memasuki gerbang sekolah untuk menuju area luas utama sekolahan SMA MERPATI SILA LIMA. Siapa lagi jikalau bukan Keci, Harta dan Bagus.

Asa menunduk. Ingin menyapa mereka, tapi ia urungkan. Bukan tidak minat, tapi itu akan menimbulkan luka. Hingga pada akhirnya Asa memilih berjalan dengan kepala yang masih menunduk dan pikiran penuh beban—melamun.

Itu mengakibatkan ia tidak fokus dengan tiap langkah yang ia rajut. Kepalanya terbentur pelan pada punggung seseorang dan membuat barang yang di tangan seseorang itu jatuh berantakan.

“Maaf.” Dengan refleks Asa berjongkok—membantu tulus untuk mengambil buku bergerak tebal itu. Sayang sekali, tangannya ditepis begitu kasar oleh Tio Mahardika.

Ya. Benar. Laki-laki yang baru saja ditabrak Asa tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya.

“Gue bantu,” ucap Asa yang berusaha mengambil beberapa buku tebal yang tak sengaja ia jatuhkan dari tangan Tio.

“Taruh.”

“Sebentar lagi udah—“”

“Gue bilang taruh! Lo budek? Taruh!” bentak Tio dengan nada oktaf yang sedikit meninggi untuk memperingati gadis yang ingin membantunya. Tentunya ucapan Tio membuat Asa terdiam—meletakkan buku bercetak tebal yang di mana semula ia dekap.

Asa menatap jelas raut Tio yang tidak memakai masker. Berhoodie hitam, serta tas ransel Hitam yang kini ia buka untuk meletakkan buku-bukunya. Mereka secara tak sengaja saling bertatapan satu sama lain. Tio menatap tajam dengan tangan yang sibuk memasukkan buku bercetak tebalnya.

Laki-laki itu bisa melihat bagaimana sosok gadis yang sibuk membuka tas ransel dan mengeluarkan lima batang permen chupa-chups.

“Oh ya, gue udah lama beli ini. Maaf, ya. Gue … baru sempet kasih,” jelas Asa yang kemudian menyodorkan dengan senyum kecil yang begitu tulus.

Itu permen yang ia beli bersama Saka beberapa waktu yang lalu.

“Gue gabutuh.”

“Tapi—”

“Lo tuli? Gue enggak butuh. Lo pikir gue bocah makan permen murahan?”

"Tapi lo suka permen kek gini."

"Gue emang suka. Tapi, enggak dari tangan jalang kek lo."

Asa tersenyum tipis di balik maskernya. Tio bisa melihat mata gadis itu ketika sedang mengukir tipis sebuah senyuman. “Lo Gila atau gimana? Udah senyum-senyum gajelas? Lo pikir gue suka lo senyum?”

“Gue benci lo senyum.”

Asa menunduk. Kemudian kembali mendongak—kembali menatap Tio yang sudah beranjak berdiri. “Kita dulu pernah deket dan saling melindungi.”

“Itu dulu. Dan semua kedekatan bisa hancur dengan satu kesalahan.” Ucapan akhir Tio yang memutuskan untuk pergi dari tempat meninggalkan sendiri gadis itu yang masih memandangi punggungnya.

“Semoga lo dan anak-anak yang lain baik-baik saja,” ujar Asa mengeraskan suara membuat langkah laki-laki itu berhenti dan membalik tubuh yang di mana ia masih bisa melihat sosok gadis itu menatapnya sembari membenarkan tas ranselnya.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now