1. Ketua OSIS

13.7K 1.3K 21
                                    

Di sudut kelas, dekat dengan jendela. Seorang remaja laki-laki tengah duduk di kursinya, memegang sebuah gelas plastik berisi minuman berwarna hijau.

Minuman itu bukan berasal dari selokan. Itu adalah es matcha mahal favoritnya. Harganya saja bisa untuk uang jajan selama satu bulan full. Sayang sekali pemuda itu terlahir di keluarga berada, sehingga ia tidak harus pusing memikirkan akhir bulan.

Di sela-sela acara menyedot minumannya, rambut hitam pemuda itu terlihat acak-acakan tertiup angin dari jendela yang terbuka. Seragam putih abu-abunya terlihat beberapa bekas tetesan keringat dan terlihat tak tertata. Mata pemuda itu begitu fokus pada layar ponselnya. Menonton sebuah anime yang ia sukai.

Nama pemuda itu Neo Alesky. Seorang pelajar kelas 11 yang tengah bersekolah di SMA Mentari. Sekolah paling bergengsi di daerahnya.

Rata-rata murid yang bersekolah di SMA Mentari adalah murid pintar. Tetapi, Neo tidak pintar. Ia diterima pun karena sudah menyogok dengan sejumlah uang yang tak sedikit nilainya.

Meski otaknya tak sejernih kulitnya, Neo tetap termasuk siswa populer. Teman-temannya mengenal Neo sebagai sosok wibu jahil yang memiliki selera humor lumayan. Memiliki wajah yang imut serta kulit yang putih bersih, dan sifat polos cenderung bodoh khasnya.

Jika orang lain memiliki kelebihan dibalik kekurangannya. Neo justru hampir tidak memiliki satu pun kelebihan. Mungkin, kelebihannya di mata pelajaran kimia. Neo mudah mengerti jika belajar kimia. Sedangkan selain kimia nilainya ancur.

Selain itu, salah satu kelebihan Neo yaitu menjadi beban untuk kedua orang tuanya. Toh, harta orang tuanya tidak akan habis, meski Neo foya-foya.

"Selamat siang! Panggilan untuk Neo Alesky! Harap ke ruang osis sekarang. Di tunggu oleh ketua osis."

"Neo! Dipanggil tuh!" Teman sebangkunya berteriak, namun tidak Neo tanggapi.

"Woi!"

Teman sebangkunya yang bernama Thiana itu menggebrak meja. Mengejutkan seorang Neo.

"Apa?" tanya Neo polos.

"Lo dipanggil sama ketos." Mata Thiana menyipit. "Lo kenal ketos?"

Neo menggeleng. "Gak kenal gue."

"Lo buat masalah kali?" dengus Thiana sambil mengangkat bahu. "Kemaren lo bikin ruang eskul masak meledak kan?"

"Iya sih." Neo cemberut. "Tapi kan, gue udah ganti rugi. Lagian, apa hubungannya sama ketos?"

"Gak tau." Thiana mendorong tubuh Neo. "Udah sana, keburu jam istirahat kelar."

"Iya sabar Mamih!" dengus Neo sambil berdiri.

"Sekali lagi lo manggil gue Mamih, gue jual lo ke om-om!" teriak Thiana membuat beberapa teman sekelasnya menoleh ke arah gadis berambut sebahu itu.

Bukannya takut, Neo malah tersenyum jahil. "Mamih! Mamih! Mamih! Mamih! Mamih! Mamih!" teriaknya sambil lari terbirit-birit meninggalkan ruang kelas.

"Neo!!!! Awas lo ya!!" teriak Thiana kesal.

Sementara Neo sudah ada di luar kelas. Meski samar-samar mendengar teriakan sahabatnya, ia tidak peduli. Remaja itu malah semakin tertawa. Neo senang meledek Thiana dengan panggilan Mamih, karena Thiana itu bawel seperti Mamihnya Neo.

Sepanjang jalan Neo terus tertawa kecil. Membayangkan wajah Thiana yang kesal. Sampai-sampai ketika remaja itu sadar, ia hanya bisa menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Anjrit! Ruang osis di mana ya?"

Memang Neo sebodoh itu. Sudah hampir 2 tahun bersekolah di SMA Mentari, tapi tidak tahu di mana tata letak ruang osis.

Biasanya ia langsung dipanggil ke ruang kepala sekolah, apabila telah membuat kekacauan. Mendengarkan ratusan kata-kata mutiara dari bibir renta kepala sekolah.

Kini Neo merasa buntu. Pemuda itu tidak tahu di mana ruang osis berada. Ingin bertanya ke adik kelas, namun gengsi. Hal itu bisa membuat citranya menurun. Neo tidak mau adik kelasnya merasa ilfil dengannya.

Hingga 15 menit sudah berlalu dengan cepat. Sedangkan Neo hanya berjalan menyusuri koridor sekolah dengan asal. Belok ke kanan, lalu belok ke kiri. Semakin lama ia merasa sedang berada di dalam labirin.

Kepalanya menjadi pusing dan kakinya mulai merasa pegal. Namun, ruang osis tak kunjung ketemu. Sampai 5 menit kemudian, Neo menabrak punggung kokoh di depannya.

"Aw!" Neo mengusap hidungnya yang sakit. Kepalanya mendongak menatap sosok laki-laki tinggi yang terlihat familiar. Ketika kesadarannya sudah terkumpul, Neo melotot. "Lo kan cowok mesum yang kemaren?!"

"Hm?" Cowok di depannya mengangkat alisnya. Matanya begitu tajam bak mata pisau, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. "Lo telat 20 menit."

Arsenic [END]Where stories live. Discover now