Babak Baru '4'

995 95 8
                                    

Untuk memilih pergi darimu, memang keputusan sulit bagiku. Namun entah mengapa, tetap saja rindu itu ada. Tetap saja rasa ingin jumpa memenuhi rongga dada.

_____

Farza melangkahkan kaki menuju balkon kamar hotelnya, setelah memastikan putranya tidur dengan nyenyak. Malam kian dingin dan menggelap. Dan entah mengapa, suasana hati Farza pun terasa sangat tidak bagus.

Perempuan itu menarik napas begitu dalam dan berat, seakan begitu banyak beban yang menghimpit rongga-rongga pernapasannya.

Enggan larut dalam perasaan yang kurang enak sendirian, Farza mengayunkan jari-jemarinya di atas ponselnya. Sesaat setelah itu, pintu kamarnya terbuka. Menampakkan sosok Fanya, dengan mata merahnya dan raut muka yang sangat tidak sedap di pandang.

"Lo kenapa, Fan? Mata merah banget, muka juga kusut. Habis berantem sama siapa lo?"

Justru pertanyaan Farza semakin membuat Fanya sebal. Raut wajahnya kian memerah padam, menunjukkan ekspresi marah pada sahabat sekaligus atasannya itu.

"Gue sudah tidur tahu nggak, Za? Lo kira ini masih sore? Ini tuh sudah lewat dari tengah malam tahu, Za!" protesnya. Farza benar-benar mengganggu proses hibernasinya yang sangat singkat itu.

"Oh lo sudah tidur? Gue belum pengen tidur soalnya. Jadi, yuk, ngopi cantik?" ajak Farza sembari terkekeh kecil.

"Gila lo!" Fanya bersungut-sungut, yang justru membuat Farza semakin tertawa. Bayangkan saja, sahabatnya yang tengah tertidur lelap, segera bangun dan meninggalkan tempat tidur, dengan kondisi wajah yang memerah padam, Farza berhasil mengusili sahabatnya itu.

"Hah, berkat lo suasana hati gue rada baik, nih." Fanya menatap Farza penuh curiga. Sepertinya ada hal yang terjadi hari itu kepada Farza, yang dirinya tidak ketahui.

"Kenapa memang lo? Oh iya, tadi Farras sempat cerita sama gue, katanya waktu lo jalan berdua sama dia, lo ketemu sama teman kerja lo. Siapa, Za?" tanya Fanya. Perempuan itu tidak tahu saja, justru hal tersebut yang membuat suasana hati Farza kurang bagus.

"Tumben Farras mau cerita selain sama gue?" Fanya tersenyum bangga mendengar pertanyaan Farza. Perempuan itu mengepalkan tinjunya, kemudian menepuk bahu sebelah kirinya, dengan sorot mata yang penuh kesombongan.

"Gue timpuk lo lama-lama ya, Fan!" Fanya tertawa kecil.

"Kan dua hari kemarin dia sama gue terus, waktu lo ada rapat penting sendiri kan? Nah, dari situ gue dekat sama dia. Sohib kita, Za," ujar Fanya bangga.

"Oh. Soalnya kan lo tahu sendiri, anak gue nggak gampang terbuka sama orang. Bahkan sama gue sekalipun, kadang dia masih ngerasa nggak mau buat cerita apapun."

Fanya mengerti. Besar tanpa figur Ayah yang mendampinginya setiap hari, juga dengan sosok Ibu yang merangkap sebagai Ayah, yang pastinya juga tidak memiliki banyak waktu untuk menemani Farras bermain. Menjadikan bocah kecil itu terbiasa melakukan apapun seorang diri, meskipun memiliki beberapa orang pengasuh.

"Tapi serius, Za, lo ada kenapa-kenapa?" tanya Fanya.

"Ya, cuma nggak enak hati dikit. Kayak yang Farras ceritain ke lo, orang yang nggak sengaja ketemu sama kita tadi siang itu Naya, sekretarisnya Fikri. Lo masih inget kan?"

Fanya sedikit terkejut mendengarnya. Bagian terpenting yang terlintas dalam benak Fanya adalah, apakah Farza juga bertemu dengan Fikri? Dan Farras juga pada akhirnya bertemu dengan pria itu?.

"Terus? Apa lo sama Farras ketemu sama...," Fanya menggantungkan ucapannya, sebelum akhirnya Farza menyebutkan nama itu sendiri.

"Fikri?" Fanya mengangguk pelan.

"Gue cuma lihat dia dari kejauhan. Yang benar-benar papasan sama gue ya, Naya. Baru setelah itu, gue lihat kalau Naya di tempat itu nggak sendiri, tapi sama Fikri juga. Dan nggak tahu kenapa, gue jadi nggak enak hati banget." Fanya terkekeh pelan mendengar ujaran sahabatnya itu.

"Lo cemburu, Za? Kan mereka cuma sekretaris sama atasan, Za." Farza tersenyum kecil. Dirinya tahu, Fanya berusaha memberikan opini terbaiknya untuk mendukung dan memberikan semangat padanya. Hanya saja, Farza lebih mengetahui perihal kedekatan antara Fikri dengan Naya.

"Mereka itu dulunya sahabatan, sejak Aludra masih ada. Ya, mereka bertiga. Dan kita sama-sama tahu kan, nggak ada persahabatan laki-laki dan perempuan di mana salah satunya nggak punya perasaan."

Fanya semakin memicingkan matanya. Kali ini, kecurigaannya tidak akan mungkin bisa terbantahkan atau ditepis oleh Farza.

"Lo masih ada rasa kan sama Fikri, Za? Selama ini lo cuma pura-pura sudah nggak punya perasaan sama dia, karena lo ngerasa adanya lo bikin Fikri berat? Iyakan, Za?"

"Gue cuma nggak mau hidup dia kayak dulu lagi. Dia hancur, tapi harus terlihat kuat. Karena di samping rasa sakit yang dia rasa, ada beban yang harus dia tanggung, yaitu gue dan Farras."

Farza membalikkan badannya. Menengadahkan kepala, menatap pekatnya malam tanpa bintang. Perempuan itu tersenyum kecut. Rasanya, mengharapkan takdir memutar waktu kembali ke masa lalu memanglah kemustahilan, namun Farza tetap mengharapkan hal itu.

Dia ingin kembali ke keadaan di mana semuanya terasa baik-baik saja. Di hari dia mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu. Cukup satu hari saja, Farza tidak meminta lebih. Karena dirinya yakin, hari selanjutnya akan menjadi hari yang buruk bagi Fikri.

"Lo benar. Gue belum sepenuhnya bisa lepasin perasaan gue ke Fikri. Dan lo benar, gue berusaha sekuat gue buat lupa dan menghindar dari dia bukan semata-mata demi diri gue. Tapi demi dia. Dari awal gue minta cerai pun, karena itu. Gue nggak nyesal, cuma gue belum siap saja lihat dia sama orang lain. Egois nggak sih gue?"

Fanya menggeleng pelan. Dia berusaha menempatkan dirinya di posisi Farza. Meski tidak sepenuhnya merasakan apa yang sahabatnya rasakan, namun beban berat itu terasa di pundak Fanya.

"Lo nggak egois. Tapi kalau gue boleh kasih saran, lepasin, Za. Baik lo atau Fikri, berhak buat bahagia sama kehidupan kalian masing-masing. Dia pernah ada di posisi sulit karena lo, dan lo juga pernah ada di posisi sulit karena dia. Dan gue yakin, baik lo atau Fikri sama-sama sakit. Jadi, daripada kalian terus saling menyakiti baik secara langsung atau nggak, lo harus ambil jalan mundur, Za."

Farza tahu yang dikatakan Fanya itu benar. Dulu, mereka saling menyakiti. Bukan hanya Farza yang menyakiti Fikri, tapi Fikri juga menyakiti Farza. Dan bagi Fanya, sangat tidak layak untuk terus merasa tersakiti atas sesuatu hal yang sudah tidak Farza genggam lagi.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Terimakasih yang masih stay buat baca kisah Farza dan Fikri ini, walopun update nya rada lama, hihiiii...

MUARA TERAKHIRWhere stories live. Discover now