"Terimakasih Ibu Ningrum."

Pak Danang sedikit menunduk kemudian membenahi kacamatanya. Beliau melihat sejenak ke arah murid-murid sebelum akhirnya memejamkan matanya lalu menjentikkan jarinya.

Secara cepat setelah jentikkan itu terdengar jendela yang terbuka di aula itu seketika tertutup dengan rotan gulung satu persatu. Hal itu membuat ruangan itu sangatlah gelap sekarang.

Beberapa suara bising kembali terdengar, namun dengan tatapan dari Ibu Ningrum itu, suasana kembali terkontrol dengan baik.

Pak Danang mengeluarkan secarik kertas yang beliau rogoh dari saku celananya. Beliau mendekati tepi panggung agar suaranya bisa terdengar oleh seluruh murid. Kemudian beliau menghela nafas, lalu Pak Danang membuka pertemuan mendadak itu.

"Pertama, kami meminta maaf karena telah mengganggu jadwal kalian hari ini, apalagi untuk peserta didik baru yang hari ini seharusnya libur untuk melaksanakan test akhir bulan besok."

Beberapa siswa mengangguk memahami.

"Kedua kami tidak bermaksud untuk membuat kalian panik karena lonceng itu, namun ini adalah kondisi yang tidak seharusnya dihadapi dengan tenang seperti biasanya."

Siswa disebelah Hazel mulai berbisik, namun Hazel memilih untuk fokus terhadap ucapan Pak Danang itu.

"Hari ini perkampungan yang ada di bawah padepokan telah diserang."

Suara dari murid-murid yang terkejut itu seakan mengisi ruangan tersebut.

Kemudian layar dari rotan gulung itu muncul dengan cahaya di sana. Membuat penerangan yang cukup untuk dapat dilihat oleh siswa-siswi yang ada disana.

"Kami mendapat laporan dari salah satu warga, perkampungan ini mendapat serangan yang menimbulkan beberapa korban jiwa."

Murid-murid mulai berandai serangan apa yang dimaksud oleh guru?

Apakah memang seburuk itu sampai menimbulkan korban jiwa?

Kemudian gambar di rotan gulung itu berganti, menampakkan sedikitnya sepuluh mayat yang berjejer rapi di depan balai kampung. Seluruh dari mayat itu memiliki luka tusuk dan wajah yang sudah tidak karu-karuan seperti babak belur karena mencoba mempertahankan diri.

Mata Hazel melotot, dia jadi teringat dengan luka tusuk yang juga ada pada tubuh ibunya kala itu. Ini aneh bekas itu sama, korbannya bertambah, apakah jangan-jangan pelakunya juga sama?

Hazel mendengar beberapa diantara murid itu mual, mereka terkejut dengan laporan itu.

"Apa yang terjadi dengan mereka?" Lirih Hazel menatap layar itu dan mengepalkan tangannya kuat.

"Pak Wirya dan Ibu Ningrum telah memeriksa daerah sekitar, aura yang ada disana sangatlah kuat, sehingga kami menyimpulkan bahwa ini semua tidak disebabkan oleh makhluk halus yang biasa."

"Lalu apa?"

"Siapa yang melakukannya."

"Anak-anak..."

Suara Pak Danang berhenti,
"Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan mistis itu, mereka telah kembali."

Seluruh murid yang ada disana seketika terdiam. Suasana menjadi sunyi, namun ekspresi muka mereka beragam sekarang. Ada yang bingung, ada yang sedih, dan ada juga yang penuh amarah. 

Gigi Hazel bergemeretak, dia mencoba menahan amarahnya.
"Benar, dugaanku."

Hazel sempat berfikir karena luka yang ada di mayat-mayat tersebut sama dengan posisi luka yang ada di tubuh kaku ibunya, maka dia menyimpulkan bahwa orang-orang satu kumpulan bersama paman dan ayahnya itulah yang melakukan semua ini.

Seketika perasaan itu kembali, perasaan membara itu kembali.

Dheg

Dheg

Dheg

Hazel menoleh ke arah Pak Danang yang kini menatap ke arah pintu itu dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak, sekejap kemudian beliau berbalik dan membisikkan sesuatu ke dua guru lain yang ada di sana.

Pandangan guru-guru itu seperti tidak percaya,
"Secepat itu?" Itu yang dapat Hazel terjemahkan dari pergerakan bibir Ibu Ningrum, tunggu sejak kapan dia bisa membaca gerakan bibir seseorang?

"Semuanya dimohon untuk tenang dan berdiri sekarang," Tegas Pak Wirya, lelaki itu kemudian memerintahkan semua murid untuk membentuk dua barisan panjang.

Pak Danang berlari ke arah depan lalu mengarahkan dua barisan itu ke suatu tempat, arah yang tidak pernah mereka lalui. Ini jalur yang tidak pernah selama ini Hazel tempuh, kemana mereka akan dibawa?

"Kenapa tiba-tiba?" Lirih Ajeng yang berjalan di sebelah Hazel.

Kemudian Liam berlari ke arah Hazel dan berjalan di depan kakaknya itu.

"Liam!" Seru Hazel menarik lengan Liam dan keluar dari barisan itu, kemudian memeluk Liam dan mengisyaratkan Ajeng untuk berjalan terlebih dahulu.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak segera datang ke aula?" Ucap Hazel sedikit panik lalu mengusap kepala lelaki itu lembut.

Liam terdiam, Hazel baru menyadari Reza tidak ada disamping adiknya, dimanakah dia?

Liam kemudian menggeleng lalu menunduk.

Hazel kebingungan,
"Liam?" Tanyanya lembut.

Sedetik kemudian terdengar isakan tangis kecil dari mulut lelaki itu, ketika Hazel mengangkat pandangan Liam, dia menemukan sesuatu di pandangan itu.

Dia mendapatkan jawabannya, namun dia ragu, dia takut apakah ini benar?

"Katakan apa yang terjadi Liam?" Tanya Hazel dengan nada yang masih lembut.

Liam menggeleng, menggigit bibir untuk menahan isakannya.

"Kakak.."

Hazel mengangguk dia tahu, namun, dia ingin dengar sendiri dari Liam apakah perkiraannya ini benar.

"Kak Reza..."

Detak jantung gadis itu semakin terdengar cepat. Tanpa sadar gadis itu semakin menggenggam tangan adiknya itu dengan kuat. Pandangannya penuh dengan tanda tanya.

Liam yang melihat itu di mata kakaknya seketika menelan ludahnya kasar.

"Kak Reza, dia menghilang."
__________________________________
Thanks for reading!
-Delzy1

When You Lost ItWhere stories live. Discover now