44. Fight

5.9K 1.6K 99
                                    

Bab ini pendek. Laptopku lagi bermasalah. Semoga cepat normal kembali, deh~

Komennya pada kemana ya? Dari kemaren sepiii :(

Enjoyyy~

***

To: C♥ndy

Sore ini pulang sama Yayah dulu, ya. Latihan sampai malem kayaknya.

***

Salah lagi.

"Yok, kita ulang! One, two, three!"

Drum, petikan gitar, bass, piano... Lalu...

Salah lagi.

"Sial!" Navy mencengkeram rambutnya dan menahan diri untuk tidak membanting gitar.

Keadaan ini tidak membaik. Justru semakin sukar. Semua orang secara bergantian membuat kesalahan, dan itu membuatnya frustrasi.

"Kita istirahat dulu, lah!" Langit mengusulkan, napasnya sedikit memburu. "Capek gue!"

"Istirahat?!" Navy menatapnya nanar. Lantas, intonasi nadanya menaik di luar kontrol. Ia membentak Langit. "GIMANA BISA ISTIRAHAT?! LO NGGAK DENGER APA YANG MEREKA KABARIN BARUSAN?! AUDISINYA DIPERCEPAT?! WAKTU KITA CUMA 10 HARI!"

Empat jam yang lalu, produser meneleponnya. Audisi akan dipercepat hampir dua minggu karena masalah internal. Dan mereka, sebagai peserta tidak dapat berbuat apa-apa selain setuju. Karenanya juga, mereka telah berlatih gila-gilaan sejak itu.

Itu baru satu lagu. Mereka harus membawakan dua, dan menyiapkan lagu cadangan.

Rasanya, mau gila.

"Terus, kalau latihan dalam keadaan kayak gini hasilnya apa?" Aksal maju. Tatapan cowok itu dingin, tidak seperti Aksal biasanya. "Kita nggak menghasilkan apa-apa kalau terus kayak gini."

"TERUS LO MAU GUE NGAPAIN?!

Jeda. Kecuali untuk helaan napas keduanya yang kasar.

Teleponnya tiba-tiba kembali berdering dan Navy tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. Sialan! Entah siapa yang menelepon, produser atau bukan, ia hanya merasa ingin memakinya.

Jemarinya berhenti di atas tombol hijau, tidak segera menekannya begitu dia menyadari nomor asing yang memanggil. Ia menghela napas sejenak dalam diam. Lantas ... menjawabnya.

"Nav..." suara gadis di seberang sana, memanggilnya. "Baby."

Navy menyapu wajah dengan gusar. Ia menggigit bibir, berusaha memilah sesuatu untuk dikatakan. Sesuatu yang bisa menjadi akhir segala ini, meski kemungkinannya kecil.

"Bisa kita ... berdamai sekarang?"

***

"Kita lanjut latihan!"

Navy melemparkan ponselnya begitu panggilan berakhir.

Dan latihan dilanjutkan. Jika salah, mengulang dari awal, sampai benar. Lagi dan lagi. Lagu pertama, kedua dan ketiga.

"Gue udah nggak bisa lagi!" Nino melempar stik drumnya kesal. "Gue mau istirahat. Capek!"

Ia berdiri. Menuju pintu keluar. Namun dengan cepat mencegatnya.

"Lo capek? KITA SEMUA JUGA CAPEK!"

"YA UDAH! KITA BREAK! LO PIKIR KITA SEMUA INI ROBOT YANG NGGAK PERLU ISTIRAHAT?!"

"MEMANG KITA PUNYA WAKTU UNTUK ISTIRAHAT!"

Ketegangan meningkat dengan cepat. Urat-urat leher menegang dan yang lainnya menahan napas.

Nino menatap teman-temannya satu persatu. Putus asa, marah, frustrasi, semua bercampur menjadi satu. Tatapannya berakhir di Navy, saling mengunci. Dan, sebagai buahnya, rasa muak menyeruak.

"Minggir!" desisnya, lalu dengan sengaja menyenggol Navy ketika melangkah menuju pintu.

Dan dengan perasaan yang sama, Navy menatapnya. Matanya memerah dan kata-kata yang tidak terpikir dua kali, terucap begitu saja.

"Satu langkah lo keluar dari pintu itu... lo keluar dari The Effects."

Sunyi memenuhi ruangan itu seketika.

Selama beberapa detik, Nino terhenti di tempatnya, tidak melangkah pergi tetapi tidak berbalik. Seolah dia sedang menimbang.

Aksal berdiri dari kursinya di sudut, begitupun Pandawa yang melepas gitar. Tetapi Langitlah orang pertama yang menyerbu di antara keduanya

"UDAH! UDAH! KALIAN BISA UDAHAN?!" Langit memaki, menatap Navy dan Nino bergantian sementara ia berdiri di antara keduanya.

Ia menatap Navy. "Nav, kita kacau kalau Nino keluar! Dan No! Lo bukan anak kecil lagi! Lo nggak bisa pergi gitu aja!"

Nino berbalik, emosinya masih meluap.

"BANGSAT INI DULUAN YANG MULAI!!!"

Navy tidak menjawab dengan ucapan. Alih-alih, ia melompat pada cowok itu dan menghantamkan tinjunya tepat di rahang kiri Nino. Nino yang tidak mengantisipasi, seketika terhuyung.

Cowok itu tidak tinggal diam, tentu saja. Nino bangkit, bersiap membalas tinju yang Navy sarangkan ke wajahnya seandainya bukan karena Langit yang menghalangi.

"Udah, No! Udah!"

Nino tidak mendengarkannya. Telinganya berdengung dan rasa marahnya menggelegak. Tubuhnya masih dengan kasar berusaha mendorong Langit menjauh. Menyingkirkan cowok itu dari jalannya. Yang kemudian terjadi.

"Minggir!" desaknya. Dan dengan satu dorongan, Langit tersingkir, terjatuh ke lantai.

Nino mengabaikannya, awalnya. Tetapi sepersekiandetik sebelum dia melayangkan tinju ke arah Navy, sudut matanya menangkap sosok Langit. Masih tergeletak di lantai. Dia tidak bangkit berdiri.

Dia bahkan tidak bergerak.

Dan semua orang menyadarinya di saat bersamaan. Langit pingsan.

Cinderella Effect [Completed]Where stories live. Discover now