“ANAK GOBLOK! MAU JADI JALANG KAMU!! PULANG KAMU! SUDAH MALAM INI! DASAR ANAK NAKAL! BENALU KELUARGA!”

“Anak tidak tahu untung!! Pulang! Denger nggak! Pulang!”

Suara tegas itu membuat dada Brian berdenyut nyeri. Rahangnya mengeras di dalam mulut, gigi-giginya bertaut di sana. Ia juga sesekali meremas erat ponsel tersebut.

Padahal, baru saja panggilan telepon itu dijawab dan di letakkan tepat pada rungu kanannya.

“Oh, apa adek sama laki-laki yang mengantarkan adek pulang waktu itu? Dibayar berapa tiap tubuh kamu, dek?”

“Serusak itukah dirimu, anak bodoh! Memilih laki-laki ingusan dibanding takut dengan kemarahan saya!”

“Saya sudah bilang! Jangan pacaran! Pulang nanti! Siap-siap aja!”

“Tubuh kamu daripada dijual ke laki-laki ingusan yang di mana kamu seharusnya rawat! Biar papah bisa jua…” Pria di seberang sana menggantung kalimat yang belum usai. Diamnya sedikit lama dan seakan ia habis saja mengatakan hal yang membuatnya kacau balau.

“Kamu diam saja? Kamu ingin saya membuat kamu menari dengan cambukan lagi?”

Pria itu berbicara kembali namun … tidak melanjutkan kalimat yang menggantung.

Brian menggeleng tak percaya. Ia menggigit bibirnya menahan untuk tidak berkata kotor di rumah sakit apalagi di situasi seperti ini. Ingin sekali, ia pergi mengambil kapak besar dan melayangkannya ke leher orang di seberang sana yang tak lain adalah Ayah Asavella; Bara.

“Mau jadi gila kayak mamah kamu! Tiap hari minum obat dan berobat ke psikiater! Kamu masih beruntung ya, lahir di keluarga saya! Mamah kamu dulu seorang jalang yang saya beli dari orang tuanya! Cuma kamu yang sama kayak dia! PULANG DAN CEPAT KERJAKAN TUGAS SEKOLAHMU!”

“Saya tunggu.”

“Sampai tidak datang dalam kurun waktu 15 menit, kamu tidur di kamar mandi seperti biasanya.”

­Tut—tut—tut—tut

Percakapan itu berhenti sampai situ. Satu air mata pun mengalir dari mata Brian yang kini memanas tak tahu apa yang akan dirasakan Asavella ketika mendengar ini. Mendengar jikalau ia akan dijual lagi. Walaupun kalimat itu menggantung. Brian tahu.

Suara husky itu mendominasi mental Asa selama 13 tahun dikehidupan Asavella. Tubuhnya yang selalu bergerak karena orang tua yang menjalankannya, bahkan di situasi yang mereka tidak tahu jikalau putrinya tengah berhadapan dengan banyak orang berjubah hitam yang melingkarinya di tengah para dokter dan perawat.

Apakah si berjubah hitam masih bisa disebut manusia? Ayolah! Itu malaikat maut!

“Kisah Asavella enggak boleh tamat sampai sini,” tekan Brian dalam tiap kata.

“Aku pastikan kisah Asavella tidak menyedihkan. Melawan takdir Tuhan demi kebahagiaan Asa adalah tugas Brian Claudius Permana.”

Brian menjatuhkan tubuhnya dengan cara berlutut tekuk. Mengusap wajah kasar. Sesekali memandangi kalung milik Asavella yang tidak begitu asing ketika ia sentuh—raba.

“Rest well, Skyrainy.” Brian tersenyum dan memeluk sejenak kalung Asavella.

“Jangan sampai, Langit. Jangan sampai apa yang di otak ku sekarang menjadi nyata,” cicit Brian sembari menatap layar ponsel Asavella yang di mana hanya background hitam polos dengan tulisan mungil yang bertulis.

mati saya adalah kebahagiaan mereka. Senyum saya adalah luka menganga mereka. Demikian luka serta tangisan saya adalah tontonan komedi terbaik mereka di tiap tahunnya.’

ASAVELLA [TERBIT] ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя