Bab 6a

2.8K 572 27
                                    

Di hari kerja, Amora sebisa mungkin menghindarin interaksi dengan Oscar. Di luar tentang masalah pekerjaan, ia akan menolak dengan berbagai cara saat diminta untuk mendekat. Terlebih dalam beberapa hari ini perusahaan memang dalam keadaan sibuk.

Jam makan siang kalau biasanya Amora akan makan bersama Oscar di ruangan laki-laki itu, kali ini ia memilih untuk makan di kantin bersama pegawai yang lain. Kalau Oscar bertanya, ia hanya menjawab singkat.

"Pak, di luar banyak gosip kalau saya jadi sombong setelah naik pangkat."

"Trus? Apa masalahnya?"

"Masalahnya, nggak bagus untuk saya. Jadi berjarak dengan yang lain."

"Kamu lebih mementingkan omongan mereka dari pada perintahku?"

Amora menggeleng. "Tentu saja, nggak, Pak. Hanya saja, ini demi kebaikan kita berdua. Biar nggak ada gosip."

Oscar mengernyit. "Kamu tahu aku nggak peduli dengan gosip."

"Maaf, tapi saya peduli."

Amora tahu kalau sikapnya terlalu kekanak-kanakan. Tapi ia tidak bisa mengabaikan fakta kalau Oscar menjadikannya tempat pelampiasan. Laki-laki itu masih mencintai wanita yang akan menjadi iparnya. Sebenarnya, Amora juga menyalahkan dirinya sendiri karena larut dalam pesona Oscar. Harusnya, ia tahu diri kalau laki-laki itu hanya bermain-main saja. Tidak perlu dibawa perasaan, dan ia bafru menyadari sekarang. Mungkin, tutur kata lem,but dan ciuman laki-laki itu memabukkan dan membuatnya terlena.

Memikirkan soal ciuman, sampai sekarang Amora tidak mengerti kenapa Oscar menciumnya saat di pesta itu. Ia selalu lupa menanyakan hal itu tiap kali ketemu. Terlebih sekarang saat ia sedang berusaha menjauh, pertanyaan soal ciuman terpaksa ia simpan dalam hati.

"Kamu sudah makan?"

Amora yang baru kembali dari kantin, mendapati Oscar berdiri di dekat pintu masuk. Ia mengangguk kecil.

"Sudah, Pak."

"Makan apa?"

"Nasi Rawon."

"Enak?"

"Lumayan."

Ia menarik laci, mengeluarkan permen dan menyalakan komputer. Waktu istirahat masih dua puluh menit tapi ia perlu menyibukkan diri. Oscar masih berdiri di tempatnya dan membuat Amora menyadari sesuatu.

"Pak Oscar belum makan? Mau saya belikan sesuatu?"

Oscar mendekat, duduk di kursi depan Amora dan menatap gadis itu tajam. "Kenapa kamu nggak bilang gini, 'Pak, sudah makan belum? Apa mau makan saya?', sepertinya itu tawaran yang lebih menarik."

Amora tercengang, menatap Oscar lalu mengulum senyum. "Pak Oscar bisa aja becanda."

Oscar mencondongkan tubuh. "Aku nggak becanda. Kalau sekarang kamu benar-benar menyodorkan dirimu untuk aku makan, pasti aku habiskan."

Amora menahan desahan, mengeluh dalam hati kalau Oscar yang sekarang sedang duduk di depannya, terlihat luar biasa tampan dan menggoda. Dagu laki-laki itu yang terbelah, senyum manis, mata tajam, seolah ingin menggempur pertahanan dirinya. Amora mengepalkan tangan, berusaha untuk tidak masuk dalam pelukan Oscar sekarang.

"Kenapa diam, Amora?"

Amora mengedip. "Pak, saya lupa satu hal."

"Apa?"

"Pak Aminoto mau ketemu jam satu."

Benar saja, dari arah lorong Aminoto datang menghadap dengan tumpukan dokumen di lengan. Laki-laki itu mengatakan ingin konsultasi soal pemasaran. Oscar mengajak Aminoto masuk ke ruangannya dan Amora bernapas lega. Ia meletakkan kepala di atas meja, menatap bayangan wajahnya yang terpantul di kaca.

Kissing The Stranger Where stories live. Discover now