Bab 5a

3K 553 21
                                    

Setelah jeda waktu yang cukup lama dan Viola pulih dari kekagetannya, wanita itu tersenyum pada Amora. Hanya sekilas lalu memalingkan wajah dan menatap Oscar tajam.

"Oscar, kamu sedang bercanda?"

Oscar menggeleng. "Sayangnya, nggak."

"Di mana kalian kenal?"

"Di kantor."

"Dia pegawaimu?"

Oscar mengangguk. "Benar."

Viola lagi-lagi tersenyum, menatap Amora yang sedang sibuk mencungkil buah di dasar gelas. Ada sebuah strawberi yang berhasil digali dan melesat keluar dari dalam gelas, jatuh menimpa gaun gadis itu. Amora meraih tisu, mengelap gaunnya dengan wajah memerah karena malu.

"Mau nambah minum?" tanya Oscar saat melihat isi di dalam gelas sudah tandas.

Amora menggeleng. "Nggak usah."

"Kalau kurang, bilang saja. Nanti kita pesan baru."

"Iya, oke."

"Setahuku kamu pindah ke perusahaan belum lama. Bisa-bisanya sudah punya pacar?" Perkataan Viola menyela percakapan Amora dan Oscar.

"Cinta datang tanpa diduga," jawab Oscar dengan nada santai.

"Begitukah? Seingatku, kamu dulu laki-laki yang biasa menggunakan semua perasaanmu kalau sedang jatuh cinta. Kamu butuh waktu lama untuk menelaah hatimu, benarkah apa yang kamu rasakan itu cinta, atau hanya sekadar suka."

Oscar mengela napas panjang, menangkupkan jemari di atas dengkulnya. Ia menatap Viola sambil mengangkat bahu.

"Waktu bisa mengubah seseorang."

"Benarkah? Aku nggak yakin kamu berubah secepat itu. Kecuali ada yang kamu sengaja tutupi."

"Tidak ada yang harus ditutupi."

"Terserah kamu, Oscar. Kita berdua tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Amora duduk sambil menahan napas. Intensitas percakapan antara Oscar dan Viola seperti sepasang kekasih yang sedang berdebat. Viola menekan, Oscar bertahan, tapi keduanya tidak menyerang dengan garang. Hanya salah satu ingin tahu kebenaran dan satunya ingin mengelak.

Amora memperhatikan bagaimana sikap Viola yang anggun terlihat begitu menggoda. Sesekali wanita itu mengangkat sebelah kaki dan menunjukkan belahan yang menunjukkan kakinya yang jenjang dan putih. Di lain waktu, Viola sengaja menyentuh jemari Oscar saat ingin menegaskan sesuatu. Amora merasa dirinya ibarat nyamuk yang tidak diinginkan di antara mereka berdua.

Berdehem kecil, ia berpamitan ke toilet dan meninggalkan Oscar hanya berdua bersama Viola. Ia buang air kecil dan berniat membasuh wajah di westafel. Lalu teringat kalau sekarang sedang berkencan, tidak mungkin ia keluar dalam keadaan wajah basah. Pasti memalukan.

"Udah minum segelasm camilan sepiring, kenapa tetap lapar?" gumamnya sambil mencuci tangan. "Perut orang miskin, ya, begini. Kalau belum kena nasi belum kenyang."

Selesai mengeringkan tangan, ia bergegas keluar dari toilet dan tertegun di tengah ruangan. Bagaimana tidak, ia melihat Oscar kini sedang berpelukan dengan Viola di lantai dansa. Mereka bergerak mengikuti musik dari seorang pianis. Hati Amora serasa diremas. Dengan lemas ia kembali ke kursi, meraih ponsel dan mengirim pesan di grup untuk dua temannya. Ia bertanya apa saja tentang saja dan nyaris membuat Mona marah.

"Gue lagi kerja, bestiee. Coba lo, berhenti spaming!"

"Amora, tangan gue belepotan cat rambut. Lo jangan bikin gue keder karena ponsel terus geter, ye." Juki pun tak kalah mengamuk.

Akhirnya, Amora berhenti mengirim pesan. Menunduk menatap layar ponselnya yang menggelap. Sampai satu pesan muncul, dari Juki.

"Anak baik, Amora. Kakak Juki kerja dulu, nanti pulang dibawain martabak."

Amora tersenyum semnringah menmbacanya.

"Gue bawa es bubble ntar. Ada yang enak di sini." Mona menimpali pesan Juki.

Amora mengirim emoticon tertawa dan berterima kasih pada dua temannya. Ia melirik Oscar yang masih berdansa dengan Viola. Mempertimbangkan untuk keluar dari Lounge. Namun, ia tidak ingin membuat malu Oscar yang sudah membawanya.

"Kasihan gadis itu, kayak bengong dan bingung," bisik Viola di telinga Oscar.

"Kalau begitu, kita sudahi dansa kita," tukas laki-laki itu.

"Kenapa? Kita sudah lama nggak ketemu, apa salahnya berbagi rindu?" Viola makin memperketat pelukannya.

"Viola, jaga dirimu. Ingat, kamu itu siapa?"

"Memangnya aku ini siapa Oscar? Mantan pacarmu bukan?"

"Memang, tapi kamu sekarang calon istri kakakku. Sebaiknya kamu menjaga sikap."

Viola tertawa lirih, meletakkan kepalanya di bahu Oscar. Ia tahu, saat di tempat umum begini, Oscar tidak akan menolaknya karena hati laki-laki itu baik. Saking baiknya, tidak akan pernah mempermalukannya atau menyakiti hati orang-orang terdekatnya. Kebaikan Oscar adalah boomerang bagi laki-laki itu sendiri dan Viola membencinya karena itu.

"Austin laki-laki yang baik, sayangnya sedikit membosankan," desah Viola. "Dia tidak sehangat kamu."

Oscar menghentikan gerakannya, tepat saat musik juga berhenti. Ia menjauhkan tubuh Viola dan menatap wanita itu.

"Kamu sudah memilih, Viola. Jangan menyesali apa yang sudah kamu putuskan."

Viola tersenyum lemah. "Sayangnya, aku mulai menyesalinya, Oscar."

"Kalau begitu, jangan lagi menemuiku. Kembalilah kepada kakakku." Oscar beranjak pergi tapi Viola menahannya.

"Oscar, aku belum selesai bicara."

Oscar melepaskan tangan Viola dari lengannya. "Tunggu aku di meja. Aku mau ke toilet."

Viola menatap sosok laki-laki yang melangkah tegap menuju toilet. Rasa bersalah dan kecewa bercampur dalam dirinya. Seandainya dulu ia tidak membuat keputusan sepihak hanya karena marah, pasti hari ini ia masih bersama Oscar.

Ia melirik ke arah meja di mana Amora sedang menunduk dengan ponsel di tangan. Timbul pertanyaan dalam dirinya, apa yang dirasakan gadis itu melihat Oscar bersamanya.

"Maaf membuatmu menunggu. Pasti kamu bosan."

Viola mengenyakkan diri di kursinya. Amora menegakkan kepala dan tersenyum. "Cukup bosan memang," ujarnya terus terang. "Untung ada ponsel, jadi bisa main game."

"Kamu nggak marah?"

"Karena apa?"

"Oscar tentu saja. Kamu diakui sebagai pacarnya tapi kamu lihat bukan? Dia lebih memilih berdansa bersamaku dari pada menemanimu di sini."

Senyum lenyap dari bibir Amora. Ia menatap Viola yang duduk dengan wajah meremehkan. Ia mengepalkan tangan, berusaha untuk tetap tenang.

"Mungkin, Pak Oscar punya pertimbangan sendiri. Lagi pula, kalian dansa juga masih di sini. Kelihatan mata."

Viola tergelak, bahunya terguncang. Mengibaskan rambut ke belakang, ia menatap angkuh pada Amora. "Tentu saja Oscar ada pertimbangan sendiri. Menurutmu, laki-laki normal mana yang akan memilihmu kalau ada aku?"

Amora menyipit. "Maksudmu apa?"

"Maksudku adalah, kamu harusnya sadar diri. Biarpun kamu pakai gaun mewah, tas mahal, tetap saja sikapmu itu norak. Uang memang bisa memebeli barang mewah tapi tidak bisa membeli kelas. Sikapmu itu jelas tidak berkelas. Aku nggak yakin kalau kalian benar-benar pacaran."

Amora menahan napas, merasa hatinya teremas. Ia dihina tapi tidak berdaya untuk membalas karena ada Oscar di sini. Ia tidak mau mempermalukan laki-laki itu. Padahal, kalau mengikuti kata hati, ingin rasanya menyumpal mulut wanita culas di depannya.

***

Tersedia di google play book

Kissing The Stranger Where stories live. Discover now