Magnolia berusaha tersenyum walau kini pandangannya mengabur. Dia seharusnya memulai hari dengan wajah ceria tetapi perbuatan mama barusan telah melukai hatinya. Mama memang tidak menyiksa fisiknya seperti ibu tiri dalam sinetron, tetapi terkadang, diamnya wanita tersebut melukai dirinya teramat dalam. 

Diacuhkan, ditelantarkan, adalah siksaan paling berat yang pernah dia terima dan setali tiga uang, dia menyukai Malik yang punya sifat hampir sama dengan ibu tirinya. Magnolia sampai tidak habis pikir dengan isi otaknya sendiri. 

Bangun, Ya. Hari sudah mau siang. Lo masih harus ke tempat nasi uduk Mak Karim. Hari ini ada pesenan tiga puluh bungkus buat dibawa ke sekolah, Magnolia menyemangati dirinya. Dia harus segera berganti pakaian dan pergi secepat mungkin. Hari ini adalah hari Jumat. Sekolah pulang lebih cepat dan sepulang dari sana, dia akan langsung ke pasar melanjutkan berjualan lap seperti biasa. Setelahnya, Magnolia akan menuju terminal untuk berjualan kopi. Dia hampir tidak punya waktu untuk bersedih. Air matanya harus segera dia hapus dan yang lebih penting dari semua itu adalah melunasi cicilan terakhir.

***

Sabtu adalah hari saat siswa SMANSA JUARA belajar hanya empat jam pelajaran. Sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan ekstra kurikuler. Pada saat itu, seluruh anak ekskul voli berkumpul untuk latihan bersama dan Magnolia berada dalam kelompok tersebut. Dia merasa amat senang menemukan teman yang menganggapnya manusia. Kecuali Dimas, Kezia, mama, dan Malik menganggapnya tidak ada di dunia. Walau akhir-akhir ini dia mulai berinteraksi dengan gebetannya, tapi, yang terjadi murni karena kecelakaan dan Magnolia yakin, jika mereka tidak bertabrakan, Malik tidak bakal mendatanginya dan memberi Sprite sebagai permintaan maaf. 

Meski begitu, dia senang Malik dan Dimas kembali satu kelas. Mamas jelas sempat menggerutu karena bila berada di kelas yang sama, dia sudah pasti hanya bisa mencapai peringkat dua. Tapi, jika dia satu kelas dengan Malik, nilai yang dia raih hanya berkelang satu sampai lima poin dengan sahabatnya tersebut. Beda halnya jika Malik menjadi siswa kelas lain. Dia memang jadi juara satu, tapi perbedaan nilai antara dirinya dan Malik bisa mencapai dua puluh poin lebih. 

Kesempatan tersebut kadang dimanfaatkan Magnolia untuk "mengirim nasi" buat Dimas dan kadang Malik setiap waktu istirahat tiba.

"Mamas." panggil Magnolia saat waktu istirahat siang tiba. Dia tanpa malu berdiri di depan kelas Dimas sambil melambai-lambai penuh semangat, tidak peduli kakak kelasnya berdeham-deham seolah tenggorokan mereka gatal. Semua orang di kelas XII IPA A tahu kalau si centil adik Dimas menyukai Malik. Sejak hari pertama dia sudah menunjukkan gelagat gila itu dan respon siswa kelas dua belas tersebut hanyalah tawa yang tidak berkesudahan. Bahkan, kepada saingannya, Magnolia tidak ragu mengaku kalau dia adalah penggemar berat Malik sejak kelas delapan.

"Apa lagi? Ngasih nasi lagi?" Dimas yang telah mencapai pintu kelas menjitak kepala Magnolia dan adiknya meringis sambil menahan senyum sembari menyerahkan kantong plastik hitam berisi dua bungkus nasi uduk.

"Ya, nasi, lah. Ntar kalau jadi juragan, gue kirimin lo burger." 

Dimas menerima kantong pemberian Magnolia sedang adiknya sendiri sibuk jelalatan mencari Malik yang ternyata luput dari pandangannya siang itu.

"Abang ke mana?"

"Lo nyari dia apa gue?" Dimas pura-pura marah. Dicegah pun, Magnolia tetap pada pemikirannya sendiri, naksir Malik tidak peduli Dimas mengatakan kalau dia sebaiknya mengutamakan belajar daripada mengurusi soal percintaan.

"Dua-duanya. Kalau kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui." 

Wajah Dimas berubah masam. Magnolia kesayangannya sudah amat pandai bermain pantun rupanya.

"Pulau apaan? Tadi belajar apa?"

Huh, Magnolia menghela napas melihat kelakuan abang kandungnya itu. Sifatnya benar-benar persis papa, selalu menanyakan kegiatan Magnolia dari pagi hingga menutup mata.

"Pak Jamal. Gue dikasih nilai 100 tadi. Katanya pinter walau genit."

Ingus Dimas hampir muncrat begitu adiknya menyebutkan kata genit.

"Lo genit-genitan sama Pak Jamal?" 

"Idiih," suara Magnolia terdengar seperti dia habis dikejar harimau, "enak aja sama Pak Jamal."

"Pas habis gue bayar cicilan ke dua, nggak sengaja nabrak Abang. Dipergokin sama Pak Jamal. Jadi dari situ gue digodain terus sama beliau." Magnolia menjawab dengan wajah dibuat sedatar mungkin. Akan tetapi, Dimas tahu bahwa meski mengucapkan itu dengan serius, lubang hidung Magnolia yang kembang kempis tidak bisa membohonginya.

"Lo godain Malik di depan Pak Jamal?" tebak Dimas dan ketika melihat adiknya salah tingkah walau kepalanya menggeleng.

"Nggak, lah. Nggak guna gue godain Abang. Yang ada dia kali, godain gue." balas Magnolia jemawa. Untuk kalimat terakhir, Dimas makin tidak percaya dengan perkataan adiknya.

"Mana ada. Dasar tukang kibul!" Dimas mencubit hidung mancung Magnolia hingga adiknya menjerit.

"Jangan hidung gue!" tangkis Magnolia walau gagal. Ibu jari dan telunjuk Dimas sudah mampir di hidungnya.

"Udah dilempar bola voli, ditabrak Abang, sekarang lo juga main cubit aja. Ntar gue nggak dapet laki, lo mesti tanggung jawab. Mana ada cowok yang mau ama cewek yang hidungnya copot."

Obrolan mereka di depan pintu berlangsung amat seru. Untung saja sudah pergantian jam menuju kegiatan ekskul dan Magnolia sebenarnya sedang bersiap turun ke lantai satu menuju lapangan. Hanya saja, karena kelas XII berada di lantai dua, dia sekalian mampir ke sana.

"Abang? Kapan hidung lo ditabrak Malik?"

Magnolia memanggil Malik dengan panggilan abang dan tanpa menyebut namanya, Dimas langsung tahu kalau yang adiknya maksud adalah sahabatnya sendiri.

"Pas ketemu Pak Jamal itu." jelas Magnolia. Dia senang pada akhirnya Dimas percaya. Dia, kan, tidak berbohong.

"Kok bisa Pak Jamal bilang lo genit?" Dimas memandangi adiknya dengan wajah curiga. Meski tegas, guru matematikanya semasa kelas sepuluh tersebut amat kebapakan sehingga banyak siswa yang menggemarinya.

"Makanya. Lo, kan, tahu kalau gue anak baik. Nggak pernah goda-goda cowok." 

Sekali lagi, lubang hidung Magnolia mengembang dan Dimas sempat yakin, adik bungsunya tersebut punya hubungan dengan Pinokio yang kalau berbohong hidungnya langsung panjang. 

"Ya, udah. Gue tanya langsung sama orangnya. Apa bener lo genit sama dia atau nggak?"

Magnolia terkikik mendengar Dimas bakal membuktikan ucapannya. Pemuda itu tidak bakal berani bertanya pada Malik. Lagipula, selama bertahun-tahun dia selalu menutup mata kepada dinginnya sikap sahabatnya itu kepada adiknya sendiri dan Magnolia juga tidak bakal percaya bahwa suatu hari nanti Dimas bakal menyetujui hubungannya dengan anak Bude Laura tersebut. 

Dia lebih yakin bahwa Dimas bakal setuju Malik bersama Kezia yang jelita daripada dirinya dan Magnolia yang berusaha mengerti sudah menyiapkan diri dan mentalnya jauh-jauh hari, seperti ucapan mama yang memupuk harapan bahwa dia akan berbesan dengan Laura Hasjim. 

Dia sadar diri. Kondisinya yang tidak sempurna membuatnya memusnahkan semua harapan tentang menikah dan semacamnya. Tapi, menyukai Malik sebelum akhirnya dia jadi milik orang lain tidak bakal membuat mereka membencinya, kan?

"Kaga percaya amat. Udahlah, gue mau latihan voli. Pulangnya gue langsung ke terminal, nggak perlu jemput. Bang Jajang mampir ke sana ntar malem. Mau main gaple sekalian ngajak gue malem mingguan sambil makan aci panggang."

Magnolia yang merasa dia membuang-buang waktu berlama-lama ngobrol dengan Dimas tanpa melihat Malik, akhirnya memilih berbalik. Detik yang sama, Malik telah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan menatapnya dengan mata terpicing.

"Yang ada, dia malah teriak sama orang-orang kalau gue ngasih pelet ke dia."

Gawaaaat! Dia harus lari dari tempat itu sebelum Dimas menggetok kepalanya dengan kantong berisi nasi uduk.

"Haha… dadah Abang. Jangan lupa makan nasi uduk sama Mamas, ya. Kaga ada pelet, sueeerrr."

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang