Lima

15.4K 4.2K 212
                                    

Di KBM app udah bab 8, di sini udah bab lima. Banyak komen dan senyum dong, kan ceritanya utututu ucu anet.

***

"Ntar, habis jualan gue pulang. Jam sembilan, deh. Biasanya, kan, gue balik jam sepuluh."

Dimas menggeleng. Dia lantas memanggil Malik yang masih bengong di motor. Si tampan tersebut menoleh. Selama seperkian detik, Magnolia merasa kalau Malik sempat memperhatikannya. Tapi, anggapan itu buyar sewaktu Malik menjawab panggilan abangnya, "Yes, bro?"

"Lo balik duluan aja. Gue sama Yaya." 

Sumpah, Magnolia merasakan sedikit kesedihan waktu Malik sama sekali tidak menolak. Dia memilih mengangguk lalu melaju dengan motornya, meninggalkan Magnolia yang masih berharap sedikit saja bakal disapa. Kenyataannya, Malik hanya melambai kepada sahabatnya dan tidak kepada dia.

Sedih banget, yaelah. Apa gara-gara gue nenteng lap jadi dia nggak mau negor? 

"Kita ke sepeda lo. Biar gue yang bonceng pulang. Besok aja lo jualan. Ulangan IPA banyak hitung-hitungannya, lho, Dek. Bahaya kalau lo nggak bisa jawab."

Dimas mengambil setumpuk lap dari pegangan Magnolia, berikut beberapa lap yang tersampir di bahu adiknya. Setelah itu, dia menenteng lap tersebut dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya dia gunakan untuk menggenggam tangan Magnolia. Jika tidak begitu, gadis kelas sembilan ini bakal kabur atau menolak diajak pulang. 

"Tinggal buletin A, B, C, atau D. Apa susahnya?"

Terdengar helaan napas dari sang abang dan Magnolia tidak merasa heran. Dia sempat melambai pada Jajang yang kelihatan amat puas pada karena akhirnya Magnolia menyerah dan ikut abangnya pulang. Tapi, setelahnya, Magnolia merasa telinganya berdenging mendengar wejangan Dimas yang tidak pernah selesai.

"Iya, tinggal dibulatkan. Tapi apa jawabannya benar? Adek bungsu gue mesti masuk SMANSA. Lo nggak tahu betapa bangganya gue kalau nanti kita bertiga sekolah di sekolah yang sama lagi."

Entah mengapa, Magnolia tidak terlalu senang mendengarnya. Bila dia kembali bersekolah di sekolah yang sama dengan Kezia, kakak tirinya itu bakal benci sekali kepadanya.

"Lo kenapa ngebet banget ngajarin gue? Sama Keke lo nggak begini-begini amat, sih. Harusnya lo lebih sayang sama dia, adek kandung lo."

Magnolia merasa kalau Dimas meremas tangannya lebih kencang dan dia sedikit meringis. Kenapa Dimas harus tidak setuju? Ucapannya, kan, memang benar.

"Lo juga adik kandung gue, Ya." Dimas mengusap pelipis kirinya dengan ujung buku jari telunjuk sementara dia mengepit lap Magnolia di ketiak.

"Keke sudah dikasih fasilitas terbaik sama Mama. Dia dibantu guru privat. Wajar kalau dia bisa lulus UN dan masuk SMANSA dengan mudah. Gue juga nggak kalah, kok, sama guru privat pilihan Mama. Nilai kami nggak jauh beda. Malik juara satu di kelasnya, gue juga. Masak, gue nggak bisa bantu si bontot sukses juga. Dulu, bocah ini pinter, kok. Sering menang lomba."

Dulu, pikir Magnolia. Semasa papa masih hidup dan dia tidak perlu memikirkan cara mencari uang supaya bisa makan besok atau bisa membiayai hidupnya beberapa hari ke depan. Sekarang, dia tidak bisa lagi seperti dulu dan bisa menyentuh buku selagi dia sibuk berteriak "Lap murah tiga sepuluh" sepanjang waktu, adalah hal luar biasa.

"Kalau gue lulus dan masuk SMANSA, lo mau kasih hadiah apa? Jangan lo kira perjuangan gue buat belajar itu nggak ada bonusnya, ya, Mas. Rambut gue rontok, mata gue sakit, aduh…"

Magnolia mengusap rambutnya yang acak-acakan karena Dimas memukul kepalanya menggunakan satu pak lap yang plastiknya belum dibuka. Tidak sakit, tapi cukup untuk membuatnya berhenti mengoceh.

"Gue izinin lo ngecengin Malik sampai kita berdua lulus."

Dimas tertawa, lalu dia berjalan lebih cepat menuju parkiran sepeda, mengabaikan bibir Magnolia yang maju dua sentimeter karena mendengar jawaban barusan.

"Gue nggak perlu izin lo buat begituan."

Dimas mana mau mendengar. Padahal, yang paling Magnolia inginkan adalah Malik mau sekali saja membalas sapaannya setiap hari. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, dia bakalan mau bergadang kembali malam ini dan menjawab semua soal UN IPA dengan benar.

Tapi, Magnolia tidak yakin, baik Dimas ataupun Tuhan akan mengabulkan doanya.

***

Jalan menuju pulang ke rumah tidak terlalu ramai menjelang salat Magrib tiba. Perlahan, Dimas Ahmad Hassan mengayuh pedal sepeda sembari memperhatikan kiri kanannya. Sepeda gunung dengan tambahan keranjang yang kini sedang dia naiki usianya hampir seumur Magnolia. Benda itu diberikan oleh kolega papa saat tahu rekannya mendapat bayi kembar. Padahal, aslinya, seperti ucapan mama kepada dirinya dua tahun yang lalu, baik Kezia dan Magnolia bukanlah anak kembar. Usia mereka terpaut enam bulan. Akan tetapi, demi kelancaran administrasi, tanggal lahir Magnolia dibuat sama dengan tanggal lahir Kezia. 

Tapi, menurut mama, hal tersebut percuma saja. Tetangga yang lebih senior, yang tahu cerita saat mama hamil dan melahirkan, menyaksikan sendiri mama kembali dari rumah sakit menggendong seorang bayi. Namun, enam bulan kemudian, secara ajaib, hadir satu bayi perempuan lain di dalam keluarga mereka. Bayi yang sama yang telah membuat keluarga Hassan berubah drastis. Mama jadi pendiam dan jarang bergaul, sementara papa bersikap biasa saja, termasuk kepada Bude Laura, rekan kerjanya saat berada di departemen yang sama, sebagai abdi negara. 

Waktu itu mungkin papa berpikiran bahwa kelengkapan administrasi Magnolia adalah yang utama sehingga dia melupakan bahwa sebenarnya mama tidak ikhlas dan hal ini berlangsung hingga bertahun-tahun. Tidak heran, di hari papa meninggal, mama kemudian tanpa ragu mengungkapkan semuanya kepada Magnolia seolah-olah hal itu memang sudah dia tunggu-tunggu sejak bertahun-tahun lalu.

"Kok bisa Abang nurut kata lo, Mas?" Magnolia kembali buka suara setelah mereka melewati lampu merah yang untungnya tidak terlalu ramai. 

"Dia temen gue. Sayang banget sama gue, makanya dia selalu bantu."

Magnolia memperhatikan punggung Dimas yang bergoyang sewaktu dia mengayuh sepeda. Dirinya sendiri memeluk termos berwarna pink berukuran besar yang cukup untuk memberi minum sekitar 10-15 orang. Benda itu dijaganya dengan amat kuat, seolah takut jatuh karena buat Magnolia termos pink berukuran dua liter inilah yang pertama kali membantunya melewati malam-malam sepi pada awal kematian papa. 

"Sayang, lo nggak bisa bujuk dia buat naksir gue." 

Dimas menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tangan kiri. Luar biasa adik bungsunya yang satu ini. Dia selalu mencari kesempatan untuk memasukkan Malik ke dalam obrolan mereka.

"Belajar dulu, Dek." Dimas menghela napas, "Lo masih kecil. Buat apa, sih, pacaran? Anak SMP tahu apa?"

Memang dia anak SMP, pikir Magnolia. Tapi, dia sudah giat mencari uang seolah-olah dia sudah berusia dua puluh tahun. Lagipula, di kampung Jajang banyak anak perempuan menikah muda. Terutama yang terlahir dari keluarga kurang mampu dan beranak banyak. Menikah adalah salah satu jalan keluar agar mulut yang diberi makan berkurang satu. Setelah menikah, anak tersebut tetap membantu orang tuanya dan mendapat tambahan uang dari suaminya. 

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang