Tujuh

13.2K 3.9K 318
                                    

Ketika 06

Suara ketukan di pintu kayu yang mulanya samar menjadi lebih nyaring dan cepat selewat dua menit. Magnolia yang merasa kedua kelopak matanya menempel bagai dilem dengan lem super setengah mati membuka mata dan menemukan kalau pintu kamarnya digedor seseorang. Cepat-cepat dia bangkit dari atas sejadah dan dibukanya pintu kamar seraya menjawab panggilan dari luar.

"Bentar dulu."

Pintu kamar Magnolia terbuka dan wajah panik Dimas adalah hal pertama yang dia temukan.

"Lama banget." 

Dimas lalu mengunci bibirnya karena dia melihat Magnolia masih memakai mukena dan memegang sejadah di tangan kanannya.

"Ya, sori. Gue nggak tahu kalau sudah waktunya."

Dimas mengangsurkan sebuah kantong kresek yang menguarkan aroma harum. Perutnya seketika keroncongan. Namun, Magnolia berhasil menangkap wajah mama dari balik pintu rumah sehingga tangannya yang tadinya terjulur mendadak kembali ke lunglai. 

"Lo tunggu aja. Gue mau salat."

"Bukannya lo abis salat?" Dimas memandangi adiknya yang terbalut mukena. Sementara Magnolia meletakkan sajadah kembali ke lantai dan melepaskan mukenanya dengan cepat.

"Ketiduran gue abis magrib tadi. Semalam gue tidur jam dua. Abis ulangan, gue jualan di pasar seharian." Magnolia berjalan menuju keran air di samping warung alias kamarnya, tempat dia selalu melakukan aktivitas cuci muka, wudu, dan sejenisnya. 

"Lah, siapa suruh lo jualan?"

Magnolia sedang membasuh tangannya saat mendengar Dimas bicara demikian. Ditatapnya wajah sang abang yang tampak santai bicara dan seolah menyalahkan dirinya karena lebih memilih berjualan daripada belajar.

"Iya, maaf. Gue kalau nggak jualan nggak makan."

Dimas seketika diam. Dia lalu memilih untuk memandangi kamar mungil milik Magnolia yang amat sederhana. Berbeda dengan kamarnya dan kamar Kezia, kamar bekas warung yang didiami oleh Magnolia hanya berlantai acian semen kasar, sementara kamar mereka menggunakan keramik. Supaya tidak melukai kakinya, Magnolia menutup permukaan semen kasar tesebut dengan karpet pastik tipis yang dia beli di pasar seharga tiga puluh ribu perbuahnya.

Barang-barang di dalamnya juga tidak istimewa. Hanya sebuah kasur busa tipis. Dua buah rak plastik berwarna hijau dan pink norak yang digunakan sebagai rak pakaian dan rak keperluan Magnolia. Di bagian bawah rak berwarna pink terdapat tumpukan mangkok, cangkir, dan panci. Di atasnya terdapat plastik-plastik bumbu dan beberapa bungkus mie instan. Rak atas sekali terdapat cermin, bedak bayi, minyak kayu putih, serta beberapa saset sampo yang pastilah penggunaannya amat dihemat oleh adiknya.

"Minggir." usir Magnolia ketika dia menyelesaikan wudu dan hendak masuk kamar. Dimas masih berdiri di depan kamar Magnolia, memegang kantong berisi nasi goreng untuk adiknya itu.

"Lo jangan lama-lama berdiri di depan kamar gue, Mas. Gue nggak enak diliatin Mama dari tadi. Lo tunggu aja di teras. Ntar gue ke sana." 

Wajah basah Magnolia yang sedang memegang mukena miliknya membuat Dimas lagi-lagi tidak bisa berkutik. Dia memandangi adiknya dalam diam sebelum akhirnya menyerah dan menutup pintu kamar Magnolia yang kayunya mulai lapuk. 

Hatinya pedih membayangkan betapa malang nasib si bungsu, bahkan sekadar untuk makan saja dia mesti berhemat. Dimas mengerjapkan mata karena dia selalu lemah setiap melihat isi kamar adiknya yang amat sederhana. Tidak ada lemari baju, tidak ada cermin rias cantik serta gantungan yang berisi bermacam-macam tas untuk nongkrong, sekolah, atau les seperti yang dimiliki Kezia. Hanya ada satu buah tas selempang yang dipakai Magnolia, Yayanya tersayang, untuk melakukan semua hal dan dia tidak pernah protes dengan keadaannya yang seperti itu. 

"Gue tunggu lo di teras, Ya." Dimas bicara lagi sembari berusaha berdeham agar sesak yang berkumpul di tenggorokannya bisa segera hilang. 

Tapi, berusaha sekeras apa pun, rasa itu tidak pernah bisa hilang.

***

Magnolia datang ke teras tempat Dimas menunggu sekitar pukul tujuh lewat empat puluh lima menit. Dia sudah menguncir rambut dan memakai kaos beserta celana panjang supaya nyamuk tidak menembus tubuhnya. Tapi, Dimas sudah memasang obat nyamuk bakar supaya nyamuk yang datang tidak terlalu banyak dan dia juga sudah menutup pintu rumah supaya mama tidak marah kalau-kalau bau asap obat nyamuk masuk.

"Lampunya redup. Gue pasang lampu belajar supaya mata lo nggak sakit." Dimas menunjukkan lampu belajar yang sengaja dia pasang dekat situ. Magnolia hanya membalas dengan anggukan. Dia hendak melepaskan sandal dan berjalan menuju teras ketika dilihatnya ada sandal Malik di dekat keset sabut kelapa yang bertuliskan welcome.

"Harusnya lo nggak usah begini. Mulut Mama agak tajem kalau lo terlalu ngurusin gue. Bukan apa-apa, lo juga punya Keke. Mama sampai abis duit banyak ngelesin dia sama Abang. Padahal ada lo."

Magnolia bicara dengan suara pelan sewaktu dia duduk. Dibukanya buku tulis tipis yang selalu dia gunakan untuk belajar bersama Dimas. Dimas sering menyalinkan rumus-rumus penting di situ khusus untuk Magnolia.

"Mama lebih yakin sama isi otak Malik daripada gue. Tapi, gue senang waktu gue bilang mau masuk kedokteran, Mama nggak protes."

Magnolia tidak menjawab lagi. Dia tidak tahu kata-kata apa yang bisa menghibur hati Dimas. Secara tidak langsung, mama telah merendahkan kemampuan anak sulungnya karena lebih memilih Malik. Di sisi lain, Kezia tidak bisa belajar dengan baik bila gurunya adalah Dimas. Bocah yang baru berusia tujuh belas itu tidak sesabar Malik dalam menghadapi Kezia. Masih mending dia mengajari Magnolia yang walau kena marah seratus kali akan tetap menulis dan mengerjakan soalnya. 

"Lo pintar, wajar kalau jadi dokter. Tapi nanti, kalau gue sakit, jangan lupain adek lo, ya."

Dimas yang saat itu sudah membuka buku latihan soal-soal UN yang sengaja dia beli untuk Magnolia menatap adiknya selama beberapa detik sebelum dia tersenyum dan mengusap puncak kepala adiknya.

"Pastilah. Ngapain gue belajar kayak orang gila kalau pada akhirnya gue lebih milih orang lain daripada lo."

Dimas merasakan hatinya menghangat saat Magnolia yang jarang tersenyum kemudian menyeringai amat lebar. Dia kemudian memanjangkan leher, memeriksa penghuni di dalam rumah kemudian berpaling kembali kepada abangnya untuk berkata, "Tapi lo mesti jadi orang nomor satu yang nyembuhin sakit kaki mama, bukan orang lain. Karena, kata temen-temen gue yang jualan di pasar, nggak ada yang lebih bikin bahagia mereka melainkan melihat anak berbakti yang berhasil bikin mereka sehat dan semangat menjalani hidup."

Lagi-lagi, Dimas berusaha menahan haru yang terus meluap entah berapa banyak demi melihat adiknya seperti ini. Tanpa dia suruh, tentu dia akan berusaha berjuang membantu mama mereka. Tapi, sepintar dan segiat apa pun dia, tidak pernah jauh lebih hebat dibandingkan Magnolia yang sengaja memintanya datang ke pasar untuk mengambil dua kantong penuh sayur, cabai, bahkan ikan serta ayam yang dia beli dengan uang hasil berjualan lalu minta Dimas mengaku kepada mama bahwa dia baru mendapat gaji hasil mengajar les privat yang selama ini selalu dia bangga-banggakan kepada sang mama.

"Harusnya lo yang kasih."

"Jangan, Bang. Mama nggak bakal nyentuh pemberian gue. Daripada busuk dan terbuang di tong sampah, mending lo yang ngaku. Gue nggak tega lihat kulkas Mama kosong. Gue kasihan. Tapi, kalau gue sok baik, dia bakal ngamuk sama gue."

Bahkan, seperempat usahanya untuk menyaingi cinta sang adik kepada mama yang tidak pernah menganggap dia ada pun, Dimas tidak pernah bisa menang. 

"Pinta gue cuma satu, jangan kasih tahu Mama kalau selama ini, gue yang kasih dia sayur dan lauk. Lo harus janji, Mas."

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuWhere stories live. Discover now