••• The End •••

150 92 90
                                        

Sejak tadi, Wendi menjadi sangat pendiam setelah kejadian di atas panggung tadi. Kini keduanya duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di taman belakang sekolah. Gadis itu terus menunduk, memainkan kedua tangannya.

"Kamu, enggak perlu merasa sedih, Wen," kata Dean tiba-tiba. "Aku tahu kamu pasti pernah mengalami kejadian serupa dan itu membuatmu trauma, tapi kamu tetap tidak boleh terlalu memikirkannya."

"K-kenapa?"

"Yah, karena kenangan buruk yang pernah terjadi di masa lalumu itu, enggak akan terulang lagi."

Mendengar itu, Wendi menoleh. "Tahu dari mana? Kamu, enggak perlu bersusah-payah untuk menghiburku, Dean. Enggak ada alasan yang bisa membuatku percaya pada ucapanmu."

Dean menghela napas. Pemuda itu paham rasanya berada di posisi Wendi, sebab dia juga pernah merasakannya. Namun, Dean tidak bisa membohongi dirinya jika pemuda itu juga sedih karena melihat Wendi yang saat ini tampak menyedihkan.

"Sebelum keluar panggung, Yemima sempat meneriakimu. Apa ... kamu sempat melihatnya?"

Wendi menggeleng. Seingatnya, saat pergantian adegan tadi, gadis itu langsung menjauh dari panggung karena tidak ingin mempermalukan dirinya lebih lama lagi.

"Tahu enggak, dia itu khawatir banget sama kamu," kata Dean sambil tersenyum dan menatap lurus ke depan. "Tadi, dia nyaris mengacaukan drama karena marah. Namun karena Yemima tahu kamu sedang berusaha menyelamatkan drama, dia pun menahan rasa marahnya. Yah, walau begitu, dia tetap ingin menyerang lawan mainmu."

Mendengar semua itu, Wendi menangis lagi. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya di atas paha, merasa bersalah karena sudah bersikap egois.

"A-aku udah mengacaukan semuanya," gumamnya pelan. "A-aku ... a-aku minta maaf."

Melihat itu, Dean langsung menarik lembut Wendi untuk mendekat, mendekapnya dengan erat. Pemuda itu juga mengelus-elus punggung Wendi untuk sedikit membuatnya lebih tenang.

"Kamu enggak perlu merasa bersalah begitu, Wen." Dean melepaskan pelukannya, mengangkat kepala Wendi agar mereka kembali bertatapan. "Kamu bisa lihat sendiri, masih ada banyak orang yang mengkhawatirkanmu. Bukan cuma aku dan Starlight, ada Yemima, Keenan, Ayah, bahkan kakakmu."

Wendi menarik napasnya panjang, mencoba untuk tidak menangis lagi. "S-sekarang, aku harus apa?"

Dean refleks mengangkat tangannya, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Pemuda itu juga mengusap-usap pipi Wendi, mencoba untuk membuat sang gadis merasa nyaman.

"Jangan sedih lagi," pesan Dean sambil tersenyum. "Mulai sekarang, kamu harus hidup dengan bahagia. Dengan begitu, semua orang yang ada di sekelilingmu juga akan merasa bahagia."

"Benar begitu?"

Dean mengangguk. Perlakuan hangatnya ternyata bisa membuat senyum Wendi kembali terlihat walau sangat tipis.

"Aku benar-benar suka lesung pipimu," kata Dean sambil menunjuk kedua lekukan di sudut bibir Wendi. "Kamu emang cantik, tapi dengan kedua ini, jauh kelihatan lebih cantik."

Wendi terdiam. Kedua pipinya refleks merona saat mendengar ucapan Dean. "M-menurutmu, aku cantik?"

Dean mengangguk lucu, yang membuat Wendi terpesona untuk beberapa saat. "Bahkan jauh lebih cantik dengan mata yang berwarna-warni ini."

The Singularity [END]Where stories live. Discover now