Sore ini, Dean memilih untuk pergi ke kafe sehabis pulang dari latihan. Setelah memesan satu cangkir cokelat panas, pemuda itu mengambil tempat duduk di hadapan sebuah jendela besar.
Sesaat, Dean termenung sambil menatap jalan raya yang tampak senggang---mungkin karena ini hari libur. Lima hari lagi, acara tahunan sekolah akan dilaksanakan. Beberapa teman-teman sekelas Dean pun tampak antusias untuk menyaksikan drama musikal yang menjadi puncak acara. Semakin mendekati hari tersebut, pemuda itu benar-benar merasa takut jika penampilan Starlight tidak sesuai harapan dan berakhir tidak memuaskan.
"Permisi, Kak." Dean tersentak. Pemuda itu menoleh saat melihat seorang pramusaji yang meletakkan sebuah cangkir di atas mejanya. "Ini pesanannya. Silakan dinikmati."
Dean hanya mengangguk, lalu membiarkan pramusaji itu berjalan menjauh dari mejanya. Kemudian, pemuda itu menatap cokelat panas yang asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma manis yang kuat.
Puas menikmati aroma cokelatnya, tiba-tiba saja Dean teringat dengan Wendi. Dipikir-pikir, sejak pertemuan pertama mereka, gadis itu memang selalu bersikap sopan dan ramah. Selain itu, interaksinya dengan Starlight juga lumayan baik. Walau terkadang, kedatangannya malah membuat semua anggota Starlight sibuk bercanda dan berakhir tidak latihan.
Yah, setidaknya pemuda itu sangat menghargai perjuangan Wendi yang bersikap super ramah sehingga tidak ada kecanggungan sedikit pun.
Bunyi lonceng yang menandakan ada pengunjung masuk berhasil mengalihkan perhatian Dean. Pemuda itu lantas menoleh ke arah pintu, menatap sosok berjaket merah dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Lantas ketika sosok itu menoleh, Dean cukup terkejut saat melihat sepasang mata yang balik menatapnya.
"Kenapa rasanya ... familier."
Tidak disangka-sangka, sosok itu pun tampak terkejut. Tanpa pikir panjang, dia berbalik dan ke luar kafe dengan sedikit berlari. Melihat hal itu pun, Dean langsung berdiri dan berlari untuk mengejar sosok berjaket itu---meninggalkan cokelat panasnya yang belum disentuh.
"Hei, tunggu dulu!"
Dean merasa tidak enak karena harus berlari berlawanan arah di tengah kerumunan orang. Beberapa orang berteriak, bahkan ada juga yang memaki. Beruntungnya, setelah melewati beberapa cela di antara pertokoan, Dean bisa menemukan sosok berjaket itu---yang kelihatan kelelahan. Tanpa pikir panjang, Dean mempercepat langkah dan menyentuh pundak sosok itu, memutar tubuhnya dan menatap sosok yang kini membulatkan mata.
"Jangan lari lagi, ya. Aku lelah."
Keduanya lalu mengatur napas, sekaligus menetralkan detak jantung. Kemudian, sosok berjaket merah itu menatap Dean dengan tajam, dengan kedua matanya yang berbeda warna. "K-kenapa kamu mengikutiku?"
"Seharusnya, aku yang tanya," kata Dean balas menatap. "Kamu kenapa lari? Kenapa enggak sapa begitu melihatku?"
"Ugh." Sosok itu mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap Dean yang menatapnya. Namun, sekilas pemuda itu bisa melihat jika sepasang mata di hadapannya berkaca-kaca. "D-dean! Jangan menatapku seperti itu!"
Mendengar itu, Dean tersenyum simpul. Dia lantas menarik tangan sosok itu. "Ayo, ikut aku. Kita kembali ke kafe."
"E-enggak mau," tolaknya seraya menepis tangan Dean. "A-aku mau pulang!"
"Lo, Wen? Kenapa menangis?" Dean terkejut sekaligus panik saat melihat Wendi---sosok berjaket itu---yang tiba-tiba menangis. Kedua matanya yang berbeda warna itu tampak berair. "Kamu sakit atau kenapa?"
Mendengar itu, Wendi mengusap matanya. "P-pokoknya, aku enggak mau ke kafe tadi."
"Oke." Dean tersenyum, lalu menarik tangan Wendi yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa air matanya. "Ya, udah. Kita pergi ke taman aja, ya."
YOU ARE READING
The Singularity [END]
Teen Fiction[TEENFICTION] Genre: Romantis °°°°° Sebagai satu-satunya kolaborasi di acara tahunan sekolah, Dean dan Wendi harus bekerja sama untuk bisa menampilkan pertunjukan drama dan musik yang spektakuler. Walau terdengar mustahil, keduanya tetap berusaha u...
![The Singularity [END]](https://img.wattpad.com/cover/302632310-64-k574372.jpg)