Iya. Ia sedang membicarakan masa yang akan datang.

Asa terkekeh tapi matanya tidak berbohong jikalau ia sedang membuat benteng. Iya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca.

“Lihat sendiri lo ‘kan, kalau tubuh gue dan wajah gue ini, penuh luka baru ataupun lama. Cantik enggak ya, gue kira-kira? Kalau gue pakai gaun hitam dengan mahkota?”

“Cantik. Lo cantik banget pakai apa aja. Bahkan sore ini juga cantik.  Sama cantiknya dengan senja hari ini,” jawab Brian tulus tanpa berpikir panjang.

“Asavella itu cantik,” ungkap Brian penuh tulus. “Cantiknya terlalu abadi sampai Tuhan berusaha menutupnya dengan luka.”

Asa menggeleng dengan kurva yang turun membentuk rasa sedih yang begitu jelas jikalau air mata itu segera terjun. Ia sudah tidak sanggup menahan lebih lama.

“Gue cuma mau hidup lebih lama. Enggak perlu nikah enggak apa-apa kok, cuma mau bahagia. Setidaknya dua sampai lima halaman lembar hidup gue, sebelum ending dari kisah Asavella.”

Asa menyembunyikan wajah pada kedua tangan yang ia lipat di atas lutut. “Gu-gue capek.”

“Enak ya, jadi lo. Bi.” Asa mendongak menatap Brian begitu dalam dengan bulir air mata yang tidak tahu pasti kapan akan berhenti.

“Lo enggak pernah ngerasain, arti kekecewaan. Lo enggak pernah ngerasain arti kehilangan, dan bahkan lo enggak pernah ngerasain arti penderitaan.”

“Lo bahkan, punya Bunda Riri yang cinta sama lo. Sayang .... banget sama lo, dan perhatian sama lo. Lo di kelilingi orang yang cinta sama lo. Sementara gue? Mereka membenci tanpa sebab lalu meninggalkan luka.”

“Sa, dengerin gue, ya. Yang lo lihat dari gue cuma cover gue. Lo gatau apa-apa dibalik cover gue,” jelas Brian sembari mencoba memegang bahu Asa.

“Setidaknya lo enggak pernah ngerasain arti kesepian!” pangkas Asa cepat.

“Gue juga mau, Bi. Ditanyain kabar gue. Terus, ditanyain apa gue baik-baik aja walaupun mereka tau, gue enggak akan pernah baik-baik aja. Gue juga butuh sedikit perhatian setidaknya satu orang udah cukup. Tapi orang itu pergi jauh dari gue.”

Brian tahu siapa yang dimaksud Asa. Itu tak lain adalah dirinya sendiri. Sikapnya yang berubah membuahkan tangisan dan duka.

Brian mendekatkan jarak duduknya dengan Asa—memeluk dan mengusap lembut punggung Asa.

“Gue salah. Maafin gue.”

“Gue bisa maafin lo, Bi. Bisa banget. Tapi hati gue, luka yang lo beri, sulit buat gue membuka mata, jikalau lo masih orang yang sama atau bukan,” rancu Asa yang kemudian memukul keras dada Brian.

“Lo kelabu buat gue, Bian! Lo orang jahat! Lo penjahat terbesar! Lo jahat! Lo penjahat!” Asa makin terisak memukul-mukul dada Brian tanpa henti. “Tapi dengan bodohnya. Tanpa rasa bersalah, gue jatuh hati sama lo.”

“Maafin gue, Sa.” Brian mengecup puncak kepala Asa. Mencoba menepis kasar air matanya sendiri.

“Lo enggak salah, Sa. Tapi kita yang salah. Kita memperlibatkan sebuah perasaan dari sebuah ikatan persahabatan.”

“Tolong maafin bocah jeruk lo ini, yang nakal terus menerus menabur luka tanpa jeda.” Brian mempererat pelukannya dan mencoba menyembunyikan wajahnya pada tengkuk leher Asa.

“Gue janji mulai hari ini, gue enggak bakalan sakitin lo, Sa. Tapi, janji sama gue jangan mencoba menyerah dan mengakhiri hidup.”

Asa langsung membalas pelukan Brian detik itu juga. Mencengkeram erat punggung Brian dengan kuku-kuku tumpulnya. Berdamai sejenak dan menangis sejadi-jadinya adalah suatu hal untuk meringankan sesak dalam batin Asa.

Brian meraih kedua bahu Asa untuk sejenak memendarkan pelukan. Mempertemukan kedua kening dengan kedua tangan Brian yang memegang lembut kepala Asa. Refleks mereka saling memejam, air mata beradu siapa cepat yang jatuh pada dasar.

“Asavella Skyrainy."

"Ini gue Brian Claudis. Meminta maaf dengan sikap acak gue. Gue minta maaf dan gue akui gue penyebab luka lo. To-tolong maafin gue.”

"Genggam tangan gue."

Brian meraih kedua tangan Asa dan mengusap-usap hangat.

"Mari kita berjanji untuk tidak saling menyakiti dan membuat luka."

"Dan mari berjanji kita akan saling bersama."

"Sebab gue tidak bisa pergi jauh dari kamu. Gue butuh lo, langit."

Asa membuang napas sesak. Lalu, mengangguk samar. mereka beradu napas dan mereka tanpa refleks hampir membuat scene ciuman pertama di tempat umum. Itu begitu berdosa. Beruntungnya laki-laki itu tersadar dengan sorot mata melebar.

Ia melihat sebuah pick guitar yang menggantung bersama rantai kecil di leher Asavella. Brian memendarkan jarak dan meraih—meraba pick guitar tersebut.

“Ini?”

Asa menunduk—menatap benda yang tengah dipegang Brian. Benda itu tidak asing untuknya. Tapi di mana?

“Dari mana, Asa dapat ini?”

“Saka.”

Tak sengaja juga Brian menatap Tio yang memandangi mereka dari kejauhan.

Awalnya, Brian tidak terlalu percaya dengan apa yang ia tatap. Tapi ia mengenali laki-laki misterius itu sebab tidak memakai masker atau kaca mata hitam, hanya permen chupa-chups yang tengah dihisapnya.

Seakan juga tengah menatapnya balik sembari berjalan santai dengan telinga yang tersumpal headset bertengger hitam.

"Sa, bukannya ... itu, Tio?"

Asa langsung menoleh ke belakang ketika Brian menujuk ke suatu tempat. Dengan santai Tio melewat mereka, tanpa menegur sapa.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Next?

Beneran Tio?

Oh ya, jangan panggil aku Thor, ya. Aku punya nama hehew😀. Panggil aku: Fy (Fei) atau Fee (Fi). Biar enak juga aku panggil kalian Bee (By) boleh?

Samaan kek Beebee.

Salam manis dari Beebee si kucing yang berperan penting❤️🍊

Salam manis dari Beebee si kucing yang berperan penting❤️🍊

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now