10. wajah merah

2K 428 158
                                    

jaketnya kakaaa, kualitas bagus, bahan tebal, bukan kaleng2 🤭

Philipp POV

"Ini bayaran pertama elu dari penjualan pertama kita"

Mataku berbinar melihat tumpukan uang berwarna biru yang Tina berikan.

"Segini banyak?" Tanyaku tidak percaya lalu mulai menghitung lembaran demi lembaran dari uang pertama hasil pekerjaan pertamaku.

"Iya" Jawab Tina singkat.

"Makasihhh" Tanpa berpikir panjang aku memeluk Tina karena senang. Pelukanku sangat erat sampai kurasakan tubuhnya menegang tidak bergerak.

"Eh, eh, gue gak di peluk?" Tanya Irma dengan pandangan penuh harap dan kedua tangan merentang ke arahku setelah aku melepas pelukan dan kembali duduk.

Aku melirik Irma yang wajahnya berubah kecewa karena tidak melihatku bergerak mendekatinya.

Tina berdeham, ku lihat wajahnya memerah.
Kenapa mukanya jadi merah seperti itu?
Kepalaku menggeleng tidak terlalu peduli, tanganku kembali menghitung uang dengan perasaan gembira.
Senang rasanya karena aku kembali memegang uang berwarna biru.

"Syukurlah penjualan pertama kita sukses, terima kasih untuk Irma yang sudah mencetuskan ide agar Philipp menjadi model"

"Dan terima kasih untuk Philipp yang ternyata berbakat jadi model" Tina bertepuk tangan dengan wajah ceria.

Sesaat aku tertegun melihat wajahnya seperti itu, efek uang memang dapat merubah mood orang dengan mudahnya.

"Pulang kerja kita makan-makan, saya yang bayarin" Ajakku setelah melesakkan uang ke kantung belakang celana jeans yang aku pakai, celana pertama yang di belikan Tina karena katanya kasian melihatku selalu memakai celana surfing lusuh.

Tidak terasa sudah hampir dua minggu aku berada di Jakarta, kerja hanya berpose di depan kamera tidak butuh keahlian apa-apa tetapi dapat menghasilkan uang.

"Gak usah bayarin, elu simpan uangnya buat beli kebutuhan sendiri" Tina berkacak pinggang dengan mata menatapku tajam.

"Pergunakan uangnya buat beli barang sesuai kebutuhan kalau gak ada yang di beli ya di simpan" Lanjutnya lagi, Tina lebih terdengar seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.

"Beli handphone aja Phil, kamu kan gak punya handphone" Irma memberikan usul.

"Jangan, ngapain beli-beli handphone, lagian juga uangnya kurang" Cegah Tina dengan suara lantang.

"Ya beli yang murahan aja, Philipp perlu handphone kali Tin, kalau ada kenapa-napa kan gampang di hubungin"

"Dia tinggal sama gue, kalau ada apa-apa elu bisa hubungin gue, gak perlu alasan lain" Suara Tina final tidak bisa di bantah.

Aku sependapat dengan Tina, selama beberapa tahun belakangan ini aku tidak menggunakan handphone dan tidak ada masalah yang berarti karena aku tidak mempunyai orang yang bisa aku hubungi, ada vati tetapi aku sudah tidak ingin menghubungi beliau.

"Zaman sekarang tuh handphone perlu banget Tin, kita juga kan gak mungkin ngasih gaji ke Philipp secara tunai, dia perlu rekening tabungan yang terhubung ke handphone" Irma mendekati Tina yang sudah duduk di balik komputer.

"Semua alasan elu masuk akal, tapi gue tau ada alasan utama di balik itu semua, jangan beli handphone dulu ya Phil, sebelum pendapatan elu stabil" Tina menoleh padaku dengan pandangan lurus.

"Iya iya" Ucapku sambil mengangguk, Tina benar-benar terlihat seperti seorang ibu.

"Saya lapar, kita bisa pulang sekarang?" Tanyaku lalu berdiri.

My Ex Step BroWhere stories live. Discover now