54: Sweat Pea

Mulai dari awal
                                    

"Sampai kapan kamu akan terus tidur seperti ini?"

Kira-kira sudah sepekan Rosé berhadapan dengan ranjang rawat tempat Jeffrey berbaring setelah operasi pengangkatan peluru dinyatakan berhasil. Di tengah malam sunyi, ia memandang wajah rupawan dihias pucat yang masih terpejam tiada menuai tanda-tanda terjaga dalam waktu dekat.

Adalah percuma, segala tanya—kadang kala cerita—yang kerap Rosé suguhkan. Sebab Jeffrey jelas tak dapat mendengar barangkali satu patah kata pun. Meski demikian, Rosé dalam duduknya tetap gigih mengajak Jeffery berbincang, walau pada akhirnya pria itu tetap akan lebih akrab dengan segala peralatan medis yang melekat, dan bukannya perempuan yang senantiasa menanti agar disapa.

"Bangunlah. Aku janji tidak akan membunuhmu."

Naas, hanya sepi yang selalu menyapa tiap kali Rosé bersuara. Sepi mengajak perempuan itu mengakrabkan diri dengan kesedihannya hingga kadang kala turun beberapa bulir air mata. Jemari lemah Jeffrey masihlah menjadi sesuatu yang menguatkannya. Terdengar ironi memang.

"Lagipula, melihatmu terluka saja sudah membuatku merasa sakit dan juga berdosa. Lalu, apa kamu masih percaya aku bisa membunuhmu tanpa ragu?"

Jika keengganan Jeffrey terbangun disebabkan oleh Rosé yang pernah meminta Jeffrey berjanji kembali dalam keadaan selamat agar Rosé bisa membunuhnya, maka bila bisa mengulang waktu, Rosé akan berkata jujur bahwa kala itu ia hanya begitu mencemaskan keselamatan pria itu, bukan yang lain-lain.

Kalau bisa mengulang waktu, alih-alih membiarkan Jeffrey pergi dengan motornya, Rosé akan membawa Jeffrey melarikan diri ke ujung semesta.

Dengan demikian, mungkin keadaan akan sangat bertolak dari sekarang. Jeffrey tak harus menerima sekian banyak pukulan di tubuh, tak harus merelakan lebam membekas di wajahnya yang rupawan, dan tak harus memasang punggung sebagai sasaran tembakan.

Selain itu, Bona tak harus mendekam di penjara dan Mingyu tak akan berakhir terpuruk enggan menyapa dunia luar.

Berandai-andai selalu menyita banyak masa tetapi ketahuilah, itu sama sekali tak berguna. Karena segalanya tak akan berbelok pada arah yang berbeda, segalanya tetap sama. Yang kacau tetap kacau, tidak terbenahi dengan sendirinya jika hanya mengandalkan kepala yang sibuk bercengkrama baiknya waktu itu bagaimana.

Napas dihembuskan perlahan. Rosé telah cukup lelah hingga memutuskan untuk meletakkan kepala di tepi ranjang Jeffrey. Kegiatan mengusap dan menggenggam jemari Jeffrey belum berakhir, pun kegiatan mengajak sang pemilik bertukar kata masih berlangsung.

"Bangunlah. Aku janji bersikap lebih baik padamu ke depannya."

Seperti tiada bosan, Rosé menanti keajaiban datang dan membawakan perempuan itu seorang Jeffrey beserta pawakannya yang gagah, baritonnya yang khas, senyumannya yang lebih manis daripada gula, juga tatapannya yang kadang dingin kadang pula hangat tapi selalu bisa menenangkan jiwa-jiwa emosional semacam Rosé.

"Novel Anthony Doer, katamu, setiap malam kamu akan membacakan satu bagian. Novelnya belum tamat. Aku penasaran bagaimana nasib Marrie Laure setelah perang selesai. Bahagiakah akhirnya? Atau menderitakah?"

Usapan Rosé terhadap jemari Jeffrey melemah seiring kantuk melanda. Segalanya tertampil samar manakala mata mulai terpejam. Sisa kesadaran masih sanggup menyeret bibir untuk melantunkan lirih kalimat,

"Kamu harus bangun dan membacakannya hingga tamat."

Setelah itu, ruangan menawarkan keheningan.

Sementara, temaram dibantu cahaya rembulan yang menerobos masuk jendela lupa ditutup tirainya menawarkan pemandangan sepasang kelopak mata bergerak perlahan lalu terbuka setelah sekian lama berada pada fase pejam.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang