25: Dating in Early Spring

1.6K 312 94
                                    

CHAPTER 25
Dating in Early Spring

[Playlist: Monogram – That Person]

***

Bunyi cangkang telur dipecahkan lalu suara ketukan logam beradu dengan mangkuk porselen membelah sunyi ruang bagian belakang sebuah hunian.

Dapur menjadi tempat di mana sosok pria jangkung tengah berkutat dengan adonan dan peralatan memasak. Cukup lihai jari-jemari membalik pancake di atas teflon, pun menghidangkannya di atas piring datar bersama sedikit tumpahan karamel dan daun peterseli sebagai pemanis. Tudung saji menutup hasil karyanya beserta segelas susu murni yang ia letakan pula di sana.

Sosoknya kemudian meniti langkah keluar dari gerbang besi tinggi, mengayunkan tungkak cepat berlarian menyusuri setapak perumahan. Handuk kecil mengalung di leher, kadang ia gunakan untuk menyeka peluh. Ipod menyumpal sepasang telinga yang punya beberapa lubang tindik kecil tak terlalu kentara; memperdengarkan alunan musik blues berirama menenangkan. Namun, sayang, kokleanya tak lantas menjelma tuli terhadap alunan suara samar perempuan.

"Mau bercinta denganku?"

Semalam, alih-alih hasrat, Jeffrey bersama logikanya yang masih sangat waras ialah pemenang dari sebuah peperangan rasa. Dengan tangan yang terulur mengelus surai senada dengan sebuah sofa ruang tengah tempat dua manusia berada, Jeffrey berkata, "Mau menonton film romansa denganku?"

Maka, petang dihabiskan keduanya hanya dengan duduk berdampingan sembari menatap layar televisi lebar yang menampilkan sebuah serial, tak sampai habis ditonton sebab perempuan yang bersandar di bahu Jeffrey telah lebih dulu jatuh dalam lelap.

Mungkin semesta sedang damai-damainya dengan seorang Jeffrey Anderson. Menghendaki laki-laki tersebut lolos dari sebuah 'tawaran' yang sebenarnya sukar ditolak. Namun, apabila tawaran yang serupa kembali disuguhkan di lain kesempatan, Jeffrey tak bisa memastikan akankah dirinya mampu kembali mengelak. Kemungkinan besarnya, tidak.

Jujur saja. Semalaman suntuk, susunan raut sederhana namun menggoda sosok Rosé kala mengajak bercinta tak berkesudahan membayangi Jeffrey bahkan hingga detik ini. Laki-laki itu mengambil jeda saat sampai di jembatan penyebrangan khusus pejalan kaki yang membentang di atas jalan raya kota. Angin awal musim semi meniup helaian surai legam tak tertata, sebagaimana dada. Napas diraup tergesa, lantas dibuang segera.

Jeffrey pikir, lari pagi mampu menjernihkan seisi kepala beserta jiwa yang kerap berterbangan tanpa arah. Namun, duduk di atas kursi kayu gereja sembari menangkup sepasang tangan dan memejamkan mata; mengikuti serangkaian kegiatan kebaktian lalu melangitkan doa adalah sesuatu yang lebih-lebih mampu. Menggerakkan kepala ke samping, Jeffrey menemukan sosok perempuan di sebelahnya masih tenggelam dengan aktivitas merapal puja.

"Pancake, bagaimana kau bisa membuatnya?"

Kala melangkah sejajar, menapaki paving-paving menuju jalan pulang sehabis meninggalkan tempat peribadatan, satu pertanyaan Rosé ajukan teruntuk Jeffrey.

"Seperti biasa. Internet banyak membantuku." Dengan pandangan yang jatuh secara horisontal, Jeffrey bertutur santai memberikan jawaban.

"Agak aneh. Kamu yang dulu enggan menyentuh peralatan masak, sekarang lebih sering memasak makanan untukku."

Lain hal dengan Rosé yang tak fokus pada langkah, lebih sering mendongak guna memandangi figur paripurna beserta raut mempesona pria di sebelahnya. Hampir saja Rosé menabrak bahu lelaki paruh baya yang berjalan berlawanan, untungnya Jeffrey dengan sigap menyeret bahu perempuan itu.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Where stories live. Discover now