41: Sailing Without A Map

1.6K 246 176
                                    

CHAPTER 41
Sailing Without a Map

[Playlist: Oo3hn - Shine Your Star]

***

Fajar menggulung petang, mengganti pekat langit malam menjadi terang yang dihiasi kejinggaan. Dari ufuk timur, mentari lambat laun meninggalkan peraduan ternyaman, memapar bumi dengan sinarnya yang benderang sekaligus hangat—menyusup di antara dahan-dahan yang ditinggal pergi dedaunan. 

Sejuk angin pagi meniupkan aroma khas musim gugur pada penciuman setiap insani, baik yang tengah meluruskan kaki di kediaman maupun yang tengah berjibaku di atas bentangan aspal jalanan. Sepasang cucu Hawa di atas lajuan sebuah sepeda motor, misalnya.

Hyosung R250 dipacu tak cukup kencang. Jeffrey menepati perkataan beberapa malam silam yang akan membawa Rosé berkeliling kota di akhir pekan. Sebegitu pagi, Jeffrey telah membantu Rosé mengenakan pakaian aman berkendara serupa jaket kulit sewarna kayu dan sarung tangan tebal agar tak kedinginan; membantu perempuan itu mengikat surai yang memanjang dari hari ke hari, lalu memasangkan sebuah helm.

Siap dengan tampilan yang hampir senada, Jeffrey membonceng Rosé mengarungi berpuluh-puluh kilometer jarak. Dimulai dari hiruk-pikuk perkotaan hingga kedamaian pegunungan yang punya jalanan berkelok dan pepohonan rimbun juga beberapa air terjun telah mereka lewati. Sepanjang itu, Rosé tiada henti berdecak kagum.

Pelukan pada pinggang Jeffrey dieratkan. Rosé menyandarkan kepala pada punggung lebar pria itu, terasa begitu nyaman untuk banyak alasan.

Sementara Jeffrey yang tengah fokus mengemudi menyempatkan diri menengok sepasang tangan milik Rosé beberapa kali. Saat tautan di sana merenggang, Jeffrey bergegas menggunakan jemarinya merengkuh erat dua tangan Rosé. Seperti tak menghendaki mereka terlepas barang sedetik saja. Selain untuk menjaga Rosé tetap aman, Jeffrey begitu menyukai hadirnya sensasi kehangatan yang meresap hingga relung terdalam.

Genangan air danau memantulkan bayangan panorama indah perbukitan di sekitar sekaligus dua manusia yang berdiri di atas sebuah jembatan kayu.

Jeffrey menoleh pada perempuan di sebelahnya ketika merasakan sentuhan terhadap ujung-ujung jemari kiri. Wajah cantik itu tertampil kaku. Sementara di balik iris selayak obsidian, tersimpan ketakutan yang mencoba disembunyikan.

Danau adalah satu pemantik kuat munculnya kilas balik tragedi mengerikan. Maka, ketika kepala penuh oleh potongan-potongan kejadian di kala itu, keresahan datang tanpa undangan dan mengakibatkan setiap persedian Rosé gemetar.

"Mengapa kita harus datang kemari?"

Lontaran tanya terdengar begitu lirih. Lantas, pandangan nanar begulir pada Jeffrey yang terdiam. Tak ada tanggapan dari Jeffrey kecuali sorot teduh luar biasa dan genggaman terhadap jemari kecil yang dieratkan. Berharap dengan itu, jiwa perempuan yang tengah terguncang bisa sedikit lebih tenang.

Jeffrey jelas paham apa yang Rosé rasakan. Ia pun tak bermaksud menghantarkan Rosé menemui ketakutan terbesarnya kecuali dengan satu alasan, yaitu membuat Rosé pulih dari trauma dan luka-luka lama agar perempuan itu bisa kembali kepada kehidupan normal seperti sediakala.

Sebagaimana Jeffrey yang telah berhasil membuat Rosé tak lagi takut pada genangan air di bak mandi atau duduk di dalam mobil, kali ini pun ia mengharapkan hal yang serupa.

Maka, seulas senyum tipis disuguhkan. Jeffrey mengelus punggung tangan Rosé perlahan dengan ibu jarinya seraya berujar, "Aku ingin mengajakmu naik sampan."

Mata Jeffrey tertuju pada sebuah sampan yang berada di tepi danau. Beberapa hari silam, ia telah mencari-cari informasi seputar tempat ini dan melakukan survei dengan mendatangi langsung di kala jam kerja usai. Jeffrey tak ingin upayanya itu berakhir sia-sia. Maka, segera ia menanggalkan jaket kulit miliknya hingga tersisa kaos putih bermotif garis. Perlakuan yang sama pun diberikan pada Rosé.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang