Mata Maureen menatap Wylan dan Riona secara bergantian. "Aunty, Uncle, aku boleh tinggal sama kalian gak? Sementara aja, nanti kalau aku udah ketemu kos-kosan baru pindah deh."

Ucapan Maureen lantas membuat Riona dan Wylan terkejut mendengarnya. "Kos-kosan? Kamu ngapain mau ngekos? Emangnya Kak Brandon sama Kak Eva udah bangkrut dan semiskin itu sampai gak bisa biayain anak mereka?" tanya Riona bingung.

Kepala Maureen kembali tertunduk.

"Mama sama Papa mau cerai ... " Suara Maureen terdengar lirih, mampu mengejutkan Riona dan Wylan untuk kesekian kalinya. "Dan mereka gak ada yang mau urus aku. Mereka bilang, anak perempuan itu gak berguna. Anak perempuan gak bisa banggain keluarga. Anak perempuan cuma nyusahin karena nantinya bakal nikah doang dan jadi milik keluarga lain."

"Mama sama papa kamu ... kenapa cerai?" tanya Riona hati-hati.

Pasalnya selama ini ia melihat Brandon dan Eva adalah pasangan yang sangat serasi dan romantis. Bahkan tak jarang mereka memamerkan kemesraan di media sosial.

"Sebenarnya Papa dan Mama udah lama sering berantem. Papa selalu permasalahin Mama yang gak hamil-hamil lagi, sementara Papa pengennya anak laki-laki bukan anak perempuan. Mama yang stress dan gak tahan terus didesak untuk hamil akhirnya memilih ... untuk bercerai," cerita Maureen.

Sesekali gadis itu tersendat-sendat ketika bercerita, menggambar bahwa keadaannya sedang tak baik-baik saja.

"Tadi pagi Mama memutuskan pulang ke orang tuanya di Palembang, sementara Papa dan Oma usir aku. Mereka gak mau lagi mengurus aku, karena aku perempuan katanya," sambung Maureen.

Riona langsung membawa Maureen kembali ke dalam dekapannya, ia menciumi kepala gadis itu berkali-kali. Seolah ia tengah mengatakan bahwa Maureen tak sendirian di sini.

"Apa salah terlahir sebagai seorang perempuan? Apa yang salah? Maureen juga gak pernah minta sama Tuhan untuk dilahirkan sebagai perempuan kok. Seandainya bisa milih, Maureen lebih baik gak dilahirkan aja," racau Maureen.

"Kadang Maureen iri kalau lihat Morfeo dan yang lain disayang banget sama Aunty dan Uncle. Apa karena mereka laki-laki? Kalau kalian punya anak perempuan apa kalian juga bakal perlakukan dia seperti Maureen?" tanya Maureen asal.

Riona menggeleng seraya terus mengusap punggung Maureen.

"Bagi kami, apapun jenis kelaminnya itu adalah berkah. Selagi dia terlahir sehat dan sempurna kami sudah bahagia, gak peduli mau dia laki-laki atau perempuan. Semuanya sama, Maureen. Gak ada yang berbeda antara laki-laki dan perempuan," ucap Riona.

"Laki-laki dan perempuan di dunia ini saling membutuhkan. Laki-laki tak akan bisa ada tanpa perempuan, karena seorang laki-laki lahir dari rahim seorang perempuan, tumbuh karena ASI dari seorang perempuan dan akan menikah dengan seorang perempuan juga. Begitu pun sebaliknya, perempuan bisa ada karena campur tangan dari laki-laki."

"Kamu tahu apa yang membedakan laki-laki dan perempuan?" tanya Riona tiba-tiba yang dibalas gelengan oleh Maureen.

Riona tersenyum kecil. "Laki-laki selalu membutuhkan sosok perempuan di sampingnya. Namun, beberapa perempuan yang sukses tidak lagi membutuhkan laki-laki di sampingnya. Mereka bisa berdiri sendiri dan menopang hidup sendiri."

Maureen mendongakkan kepala menatap Riona. Ia terperangah dan terkejut ketika mendapat pemikiran baru dari sang tante.

"Tapi, Oma dan Papa selalu bilang kalau perempuan itu selalu berada di bawah laki-laki. Perempuan gak perlu sekolah tinggi, karena ujung-ujungnya bakal berdiam di dapur dan di rumah doang," ucap Maureen.

"Semuanya itu relatif, Maureen. Tergantung kita ingin bagaimana dan seperti apa, kalau kamu mau hidup bahagia maka jangan cari suami yang berpikiran kolot. Simpel."

Dalam hati Riona merasa miris dengan cerita Maureen. Walaupun Brandon dan ibunya merupakan keluaran yang berpendidikan, tetapi mereka masih memiliki pikiran yang sangat kolot.

"Sudah, lebih baik sekarang kamu tidur. Maureen bisa pakai kamar tamu untuk sementara," ucap Wylan mengakhiri.

Ia menggiring kedua wanita itu untuk naik ke lantai dua, dan membawa Maureen memasuki salah satu kamar tamu yang paling besar. Untung saja setiap hari Wylan selalu menyuruh untuk membersihkan kamar tamunya, walaupun tak ada yang memakai.

Selain mengusir makhluk tak kasat mata, juga untuk mengantisipasi kejadian seperti malam ini.

"Maureen boleh tidur sama Aunty? Malam ini aja," ucap Maureen memohon pada Wylan. "Maureen rindu rasanya tidur sama sosok ibu."

Merasa iba dengan cerita Maureen, akhirnya Wylan mengangguk dan menyetujui permintaan keponakannya itu. Ya, tidur sendiri selama satu malam mungkin tidaklah buruk.

Setidaknya masih ada guling untuk dipeluk.

----

To be continued...

Yeyy dikit lagi bakalan tamat nihh, mana suaranya yang udah gak sabar?!

YEYY DOUBLE UPDATE!!

YUK SPAM NEXT DI SINI!!

Be a Good Mother [Terbit]Where stories live. Discover now