43| Akhirnya Berjumpa

Magsimula sa umpisa
                                    

"Sena juga! Sena sempet marah sama lo karena ngira lo yang udah nyebarin aib mereka semua sebelum akhirnya bunuh diri!"

"Yovan juga setelah kecelakaan lo sama Rafathan ngilang, jangan-jangan lo lagi dalang dibalik hilangnya dia!"

Raline menggeleng-gelengkan kepalanya, menyanggah tuduhan demi tuduhan yang diberikan kepadanya. "Itu semua nggak bener! Kalian semua nggak make sense!"

"Lo sadar diri nggak, sih, Line? Lo itu bawa pengaruh buruk ke sekolah kita!Sekolah kita jadi nggak seanteng dulu semenjak ada lo."

Raline terkekeh sinis begitu mendengar penuturan itu. "Jadi menurut lo semua, gue bawa sial gitu? Gue yang bikin mereka mati? Kalian semua lupa? Sekolah ini juga pernah ada yang bunuh diri sebelum gue pindah! Dan kalian semua juga turut andil sama kematiannya Radheya! Mereka semua yang mati juga karena mereka bersalah sama Radheya! Mereka menuai apa yang mereka tabur sendiri!"

"Jangan bawa-bawa orang yang udah mati! Lo yang masih hidup di sini, bisa aja kehadiran lo yang sebenarnya bikin Satya Bangsa apes melulu! Kita nggak mau satu sekolahan sama orang kayak lo! Kita nggak mau mati kayak yang lain!"

Raline menggelengkan kepala tidak menyangka. Teman-teman sekelasnya mulai berpikiran sangat kolot. "Kalian semua udah nggak waras!"

"Lo yang nggak waras! Lo penipu! Lo udah bohongin kita! Lo juga udah bohongin temen-temen lo!"

Raline menoleh, bertanya-tanya apa maksudnya.

"Lo pindah ke sini karena semua orang di sekolah lama lo udah tau semua tentang lo kan?"

Mata Raline seketika membelalak. Jantungnya seakan semakin berdegup.

"Temen gue yang satu sekolah sama lo dulu udah cerita! Kalo lo itu sebenarnya bukan orang kaya! Lo anak pembunuh! Nyokap lo simpanan! Nyokap lo masuk penjara dan bunuh diri di dalam sel! Satu sekolahan udah tau busuknya lo makanya lo pindah ke sini kan?"

"Lo itu cuma anak simpanan yang bawa sial! Iya kan?"

Plak!

Raline menampar penuh tenaga manusia dengan mulut kejam barusan. Ia mungkin sudah akan menghabisi manusia-manusia si sekelilingnya itu kalau saja Radian tidak membawanya pergi menjauh dari ruangan kelas.

Entah apa tujuannya. Raline bahkan tidak tau lagi bagaimana caranya menenangkan dirinya sendiri. Karena mau sejauh apa pun ia lari, fakta itu tidak akan pernah pergi, fakta itu selalu mengikutinya ke mana-mana.

Kehancuran seakan selalu berjalan bersamanya.

"Stop. Stop! STOP KATA GUE!"

Radian melepaskan cekalannya dari pergelangan tangan Raline. Berdiri di depan gadis itu tanpa membalikkan badan. Raline menjongkokkan diri, berteriak frustrasi, lalu meringkuk sembari menangis tersedu-sedu.

"Udah hancur. Semuanya udah hancur." Raline terisak sendiri.

"Gue tau gue nggak bakalan bisa terus-terusan bohong. Mereka pasti bakalan tau faktanya cepat atau lambat. Gue cuma mau hidup normal Radian! Gue mau kayak yang lain, sesalah itu kah?" Raline menutup wajahnya sendiri dengan tangan. Ia seakan tidak punya harga diri lagi. Semua karena ibunya. Ibunya lah yang membuat Raline harus berakhir seperti ini.

"Sekarang semua orang ninggalin gue. Gue harus ke siapa lagi? Gue nggak punya siapa-siapa."

Radian membalikkan badannya, menunduk memperhatikan gadis yang tengah menangis sembari memeluk lutut itu-tangannya menutupi wajah. Dengan perlahan, Radian lantas menjulurkan tangannya.

"If you wanna go home, lemme take you."

Raline mendongakkan kepala, memandangi Radian yang juga tengah menatapnya. Waktu seakan membiarkan mereka bertatapan dalam beberapa saat saja. Sebelum kemudian dengan ragu, Raline menyambut uluran tangannya. Memegang tangan yang dulunya benci disentuh itu.

Hipokrit ✔️Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon