Bagian 18 - Pop Shove It

11 0 0
                                    

Ia berlari ke arahku, langsung memeluk erat. Aku menyambut pelukannya. Kami menangis bersama.

“Maafin gue, Sa. Maafin,” ucapnya lebih dulu, dengan berderai air mata.

“Lo nggak salah. Gue yang minta maaf,” balasku yang tak kalah banjir air mata.

Aku merasa ada kepedihan yang lebih pedih dari yang kurasa. Tangisan Inka membuatku merutuk diri sendiri yang tidak jujur padanya. Juga mengutuk Panca yang sudah berkhianat hanya demi rupiah.

Bahkan, di malam saat Inka pergi, Panca sama sekali tidak menghentikan. Ia justru tertawa senang bersama teman-temannya.

Mendengar tangisan Inka, ingin sekali rasanya membalas perbuatan Panca.

Lalu Inka melepas pelukan, menyeka air matanya dengan jemari. Aku pun ikut menyeka air mata, dengan punggung tangan.

“Kalian semua, please stop bully Sabia. Sabia enggak salah. Yang salah itu Panca, pacar gue yang sudah jadi mantan. Dia – dia,” ucapan Inka yang lantang, harus terputus.

Ia kembali menangis. Segera kupeluk, menyudahi dengan mengusap punggungnya. Lalu mengajaknya ke kelas.

Tidak membutuhkan waktu lama untu mendapat jawaban, Inka mengangguk. Aku pun segera merangkulnya, berjalan menuju kelas.

Terdengar seruan dari para siswa yang ramai mengatakan perkelahiannya tidak seru. Mereka ingin sebuah tontonan yang lebih menguji adrenalin.

Begitu memasuki kelas, suasa menjadi hening begitu melihatku dan Inka kembali bersama. Semua tatapan menuju kami.

Guys, Sabia enggak salah. Jadi gue mau kalian stop bully dia,” pinta Inka di depan papan tulis pada semua teman sekelas.

Teman-teman pun berseru dengan nada rendah. Terdengar ada kekecewaan. Namun, ada juga yang memberikan selamat.

Kami kembali berjalan, duduk di sembarang kursi. Teman-teman sekelas mulai berdatangan, meminta maaf padaku secara bergantian. Bahkan tulisan yang tidak bisa dihapus dari meja dan kursiku, mereka bantu bersihkan dengan tiner.

“Sa, gue minta maaf. Panca ternyata hidung belang, Sa. Selama pacaran, ternyata dia selingkuhin gue, terus udah gitu selingkuhannya banyak. Gue minta maaf udah nuduh lo yang enggak-enggak,” ungkap Inka yang sudah berhasil menghapus tangisannya.

“Udah, udah. Kalau belum sanggup cerita, nanti aja,” selaku.

“Gue sanggup kok. Gue udah enggak terlalu sedih masalah Panca. Justru gue sedih karena udah jahat banget sama lo. Tamparan gue malam itu sakit ya? Sorry, ya,” ungkapnya.

Btw, lo punya pacar, Sa? Siapa?” sambungnya.

Sungguh jiwa kekepoannya tidak pudar sedikit pun.

“Asta? Lo beneran nyatain perasaan ke Asta?” tebaknya karena tidak mendapat jawaban dariku.

“Gue nggak mau kehilangan bestie,” jawabku seraya tersenyum getir.

“Sabia ... Gue enggak bener-bener waktu minta lo nyatain perasaan. Waktu itu gue emosi. Ya ampun, sorry banget,” sesalnya.

Seakan paling mengerti, Inka menanyakan perasaanku yang sebenarnya. Ia meragukan hubunganku dan Asta. Namun, segera kutepis dengan mengatakan jika aku bahagia. Karena akhirnya bisa mendapatkan Asta. Artinya, perubahanku tidak sia-sia.

“Lo mungkin bisa bohongin hati lo sendiri. Tapi lo enggak bakal bisa bohongin bestie lo,” ucap Inka dengan penuh percaya diri.

Aku memeluknya erat. Tidak menyangka bisa bersahabat dengan Inka. Meski super kepo, tapi ia tetap yang terbaik.

GalaBia [TAMAT]Where stories live. Discover now