Bagian 11 - Ollie

13 1 0
                                    

Inka sangat antusias menarik tanganku untuk segera masuk ke mobil Panca yang sudah tiba. Kata Inka sih, Panca mobil baru.

Beberapa kali mobil berwarna merah itu menyuarakan klakson. Padahal sudah jelas, jika Panca melihat kami yang masih berjalan di lantai plesteran ala Venesia, carport rumahku.

Lantai yang di plester ini tampak terbuat dari beton, padahal hanya penggunaan warna gelap dengan sentuhan naturalisasi yang kuat saja.

Di sela-selanya terdapat kerikil yang sengaja disebar secara tertata.

"Hai, Beb," sapa Inka di jendelanya yang terbuka.

Kemudian ia duduk di depan dan aku di belakang. Kulihat dari dalam mobil, Mama dan Papa berlari dari dalam rumah menuju rumah Gala.

Belum sempat aku membuka pintu hendak turun, mobil yang katanya keluaran terbaru ini sudah melaju.

Parfum beraroma aqua yang menyeruak ke seisi mobil, harusnya bisa sedikit menenangkanku. Namun, kali ini aroma apa pun tidak bisa mengusir kemelut dalam hati.

"In, kayanya gue balik aja deh," kataku.

"Enggak bisa, atuh, Sa. Lo itu diundang, kita harus datang. Nanti habis lo kasih kado, kita langsung cabut deh," ucap Inka.

Aku menelan ragu, membekap sedih dan menyembunyikan rasa bersalah. Sahabat macam apa aku ini?

Jalanan malam minggu memang tidak bisa dihindari dari kemacetan. Padahal, jika tidak macet kami hanya perlu dua puluh lima menit.

Inka dan Panca asyik mengobrol di sepanjang jalan, sementara aku hanya berdiam diri. Menahan tangis dalam dada. Kupandangi bergantian kendaraan yang berjejal melalui kaca jendela dan langit malam melalui roof top. Terngiang-ngiang olehku kebaikan Om Wijaya.

Saat pertama kali pindah, Om Wijaya lah yang mengenalkanku dengan anak laki-laki satu-satunya, siapa lagi kalau bukan Gala.

Semenjak berteman denganku, Gala yang hanya bermain dalam pekarangan rumah itu, jadi lebih berani bermain sepeda keliling kompleks bersamaku. Tidak kusangka, waktu begitu cepat bergulir. Masih kuingat dengan jelas bagaimana tawa khasnya Om Wijaya. Ia mempunyai selera humor yang tinggi, dibalik tampangnya yang pendiam.

"Sa!" Inka mengejutkanku.

"Kita udah di kompleksnya nih. Rumahnya arah mana?" sambungnya yang membalikkan badan ke arahku.

Sehingga tampak olehku riasan Inka yang sederhana, tapi begitu manis. Dengan rambut yang digulung ke atas, serta anting yang panjang.

Segera aku membetulkan posisi duduk sebelum mengarahkan Panca, "Belok kanan, terus naik tanjakan. Belok kanan lagi di perempatan, itu bloknya Asta."

Rupanya banyak motor sport yang terparkir dari depan blok sampai ke depan rumah Asta. Jalanan yang terbuat dari paving block itu seakan-akan menyempit. Namun, karena Panca harus memastikan, maka ia memaksa mobilnya untuk terus berjalan sampai benar-benar berhenti tepat di depan rumah Asta.

Setelah kami turun, Panca pamit. Sesuai dengan janji Inka, ia meminta Panca untuk kembali dalam waktu tiga puluh menit lagi. Tanpa keberatan, laki-laki kuliahan semester tiga itu pun menuruti permintaan Inka.

Tidak ada balon apalagi dekorasi ultah seperti anak perempuan. Namun, rumahnya dipenuhi banyak orang, cowok dan cewek membaur menjadi satu.

"Eh, ada Wira juga tuh," bisik Inka begitu mobil Panca sudah melaju.

Sontak aku menoleh ke arah telunjuknya. Wira adalah siswa sekolahku, satu angkatan. Namun, dengan parasnya yang rupawan, ia berhasil menjadi pentolan di sekolah.

GalaBia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang