Bagian 3 (1) - Griptape

82 4 0
                                    

“Sabi!” teriak seseorang dari arah belakang.

Membuat langkahku terhenti dan detak jantung pun perlahan mulai berirama lagi. Walau masih bertanya-tanya dalam hati.

“Lo ngapain lari atuh?” tanyanya yang ketika kutoleh, ternyata Inka.

Ia memegangi kedua lutut dengan napas ngos-ngosan. Tanpa basa-basi, langsung menawariku untuk masuk ke mobil.

Di mobil, Inka tidak mempertanyakan kenapa aku bisa jalan kaki. Ia sibuk mengenalkan pacarnya, yang bernama Panca. Seorang mahasiswa semester tiga. Segala kebaikan Panca dijabarkannya tanpa kuminta. Selera Inka lumayan, selain ganteng, Panca juga sepertinya sosok kekasih yang memanja pasangannya. Mereka benar-benar so sweet.

Tidak butuh waktu lama, sekitar enam menit kami sampai di depan rumahku.

“Lo tunggu aja, biar Panca yang buka. Pintu yang sebelah kiri emang rada eror,” jelas Inka begitu mengetahui aku sedang kesusahan membuka pintu mobil.

Aku pun berpamitan dengan Inka di dalam mobil, karena pintunya juga macet.

Thanks,” ucapku pada Panca yang sudah membukakan pintu.

Ia tersenyum dan mobil putih itu segera melaju setelah Panca masuk kembali.

“Waw!”

Suara Gala benar-benar mengejutkanku. Entah sejak kapan ia berdiri di pojok halaman rumahnya. Di sela-sela pohon palem.

“Lo ngapain ngintilin gue, Gala!” cetusku.

“Ngintilin? Bia, lo emang enggak liat? Gue di mana? Iya! Gue ada di dalam halaman rumah gue. Jadi, gue enggak ngintilin lo. Btw, gebetan baru tuh?” ucapnya sambil senyum-senyum. Senyum yang selalu menjengkelkan.

Tidak ingin membahasnya sekarang, aku bergegas masuk ke rumah. Sementara, Gala mengiringi langkahku. Untung saja ada tembok pembatas di antara rumah kami. Kalau tidak, ia bisa menjadi bayanganku.

“Gue jemput jam delapan, lo harus sudah siap!” teriaknya yang masih bisa terdengar.

Padahal, pintu rumah sudah kututup rapat-rapat. Sambil berjalan ke ruang keluarga, aku menggerutu. Gala si biang resek memang tidak ada tobatnya.

“Sabia? Kok manyun-manyun?” Sebuah suara yang kurindu di rumah ini kembali terdengar.

Begitu mengangkat dagu dan menatap dengan jelas. Ah, senangnya  melihat Papa. Sudah dua minggu ia tugas ke luar kota. Papa memang bukan tipe papa yang selalu hadir di sisi. Namun, bagiku dia tetap yang terbaik.

Meski berjauhan, dalam sehari biasanya minimal satu kali ia mengabari. Yang paling kusuka sejak kecil, ialah buah tangan yang tidak pernah dilupakannya. Entah itu makanan, pakaian atau sandal. Bahkan kadang, pakaian yang dibelinya hampir sama seperti yang dibelikan sebelumnya, tapi tetap kuterima dengan senang hati.

Apalagi Gala, ia selalu mendapat sebuah kaos khas kota yang dikunjungi Papa. Kaos tersebut kami namakan sebagai kaos couple. Sebab Papa membelinya hanya dua pasang, untukku dan Gala.

Aku memeluk tubuh tegapnya. Akhirnya rindu ini bisa berlabuh. Seperti biasa, ia memintaku untuk mengantar oleh-oleh ke keluarga Gala. Meski kesal dengan Gala, tapi permintaan Papa tidak mungkin kutolak. Lagian, satu tas berisi oleh-oleh sepertinya cukup untuk membungkam mulut Gala.

Semoga saat cari seragam nanti, ia bisa lupa dengan Panca.

***

“Sa, Sa, Sa. Kacau, ini mah. Sumpah! Kacau pisan ini, teh!” Inka berlari menyambangiku dengan sebatang choki-choki di tangan kanannya.

GalaBia [TAMAT]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum