Bagian 1 - Deck

174 7 0
                                    

“Ayo, Sabi! Lo bisa!” Teriakan teman-teman menggema di pekatnya malam.

Tidak hanya namaku yang diteriakkan, tapi beberapa lawan di sampingku pun tidak luput dari lolongan.

Aku mengatur napas, membalik letak lidah topi ke belakang. Sementara kaki kiri sudah berada di atas papan, dengan kaki kanan siap mendorong.

“Satu, dua, tiga, go!” Nyaringnya suara terompet yang diacungkan ke udara, membuat roda-roda kami meluncur gesit di atas beton.

Berlomba menaklukkan rail. Pipa besi setinggi enam puluh sentimeter. Tidak sedikit yang terjatuh. Jika dilihat, memang seperti usaha menyiksa diri. Jatuh, terguling, jatuh lagi. Namun, kami menikmatinya dengan tertawa.

Acungan jempol disuguhkan padaku setinggi-tingginya, begitu berhasil mendarat tanpa terjatuh. Meski hanya aku yang berhasil, tapi keempat lainnya juga mendapat tepuk tangan yang tidak kalah meriah. Perlombaan kami bukan sebagai ajang unjuk gigi, melainkan hanya untuk mengukur kemampuan sambil belajar dari kesalahan.

“Bia!” Sebuah teriakkan menembus riuhnya suasana.

Aku mencari asal suara. Mengedarkan pandang di antara kerumunan. Hingga kudapati Gala yang berdiri di tepi bowl. Dengan kaos putih dan jin panjang sobek di bagian lutut, tanpa melambai dan tersenyum seperti biasa.

Segera kuterobos kerumunan, menaiki Thunder, meluncur ke arahnya. Dengan dua kali dorongan, aku mengakhiri seluncur dengan melakukan gerakan strawberry milkshake. Yaitu memutarkan papan pada kaki belakang.

Wajahnya tampak murung, dengan tekukan yang teramat dalam. Rambut yang berantakan dan poni yang berhamburan hampir menutup jidatnya dengan sempurna.

“Kenapa lo?” tanyaku.

“Gue enggak lolos,” jawabnya lesu.

Diusapnya kasar wajahnya sambil duduk beralaskan beton. Kakinya turun, layaknya sedang duduk di tepi kolam renang.

“Lolos? Lolos apaan?” tanyaku lagi.
Menyusul duduk di sampingnya sambil memangku Thunder.

Gala menoleh dengan tatapan kesal. Bibirnya terlihat komat-kamit. Hingga menampakkan kerutan di bagian hidung. Melihatnya, aku semakin tidak mengerti. Kutanyakan lagi, tapi tanpa kata-kata. Hanya dengan alis dan dagu yang terangkat.

“Gue enggak lolos di SMA Pesona Negeri, Bia,” jawabnya sepatah demi sepatah kata.

Terdengar deru napas yang diatur sebaik mungkin di antara jedanya.

“Apa?” Alih-alih merasa iba atau bertanya lebih lanjut, tawaku malah lepas begitu saja.

“Yes! Yes! Akhirnya, gue nggak satu sekolahan lagi sama lo!” lanjutku yang masih tertawa.

Saking bahagianya, tanpa sadar aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, sambil berteriak, “Yes!”

“Terus! Terus! Terusin aja ketawa lo! Nanti kalau kangen bingung sendiri!” ocehnya dengan percaya diri.

“Kangen sama lo? Hih! Amit-amit! Lo tau nggak, setelah sekian tahun gue berdoa nih, ya. Akhirnya dikabulkan juga!” seruku.

Dengan wajah masamnya, ia mengambil topiku lalu melangkah pergi. Segera kususul, hendak meraih kembali topi yang bertengger di kepalanya. Namun, tidak berhasil. Sampai di luar skatepark, topi hitam tersebut masih kami perebutkan. Ia terus menghindar, berlari menjauhiku. Walau tersusul, karena aku memakai Thunder di atas aspal, tapi tetap tidak berhasil kurebut.

“Gala, kembaliin. Gue masih mau main lagi!” kataku menyerah. Berdiri di simpang tiga yang disorot lampu jalanan. Di mana, rumah Gala berada persis di hadapanku. Semilir angin malam meniup helai-helai daun dari pohon palem, yang tertanam di pekarangan setiap rumah. Tanpa merasa dingin, karena hanya memakai hotpants, niatku bulat untuk kembali bermain.

GalaBia [TAMAT]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum