Bagian 12 - Strawberry Milkshake

12 1 0
                                    

Satu setengah jam berlalu dengan penuh keringat. Bukan karena banyaknya para pelayat. Namun, karena Asta ada di hadapanku.

Jika kuperhatikan, matanya seakan terpaku pada jemari Gala yang mengisi sela-sela jariku.

Teman-teman Gala bergantian menyemangati Gala. Banyolan demi banyolan pun sedikit demi sedikit bisa membuat Gala tersenyum.

“Kami balik dulu, ya. Kamu yang sabar,” Asta menepuk bahu Gala.

Gala mengucapkan terima kasih seraya menjabat tangan Asta.  Setelah itu Asta beralih ke hadapanku, menjabat tangan seraya membisiki, “Thanks parfumnya. Aromanya aku suka.”

Aku tahu jika Gala mendengarnya, sebab posisi kami sangat dekat. Aku mengangguk sambil memaksa senyum. Tidak berani melihat wajah Gala.

Setelah mengantarkan mereka ke depan pagar, Gala melepas genggaman tangannya. Berjalan masuk ke rumah tanpa mengajakku.

“Gala, Gala, gue pulang dulu, ya? Nanti habis mandi ke sini lagi,” ucapku yang setengah berlari mengejarnya di carport.

Ia hanya menoleh dengan tatapan datar.

“Gala! Lo kenapa?” sentakku sambil memerhatikan wajahnya dengan saksama.

Takutnya Gala kesurupan. Tanpa menjawab, ia melanjutkan langkah, mengabaikanku.

“Yeey! Tadi aja lo genggam-genggam tangan gue! Terus bilang, makasih ya, Bi, lo udah ada saat gue begini. Sekarang? Heh, habis manis sepah dibuang,” cerocosku yang menirukan gaya berbicaranya.

“Lo tinggal pulang aja, banyak bacot, ya,” Gala berbalik mendatangiku, mengacak-acak wajah serta rambutku hingga berantakan.

“Gala, Gala, Gala! Lo tuh ya! Hih! Dasar resek!” umpatku setelah berhasil lolos dari telapak tangan mautnya Gala.

Kubenarkan kembali tatanan rambut, meski tidak seperti sedia kala.

Baru saja hendak melangkah pulang, Gala menarik blouse hitamku dari belakang. Bagaikan mengambil anak kucing, jepitan kedua jarinya di blouse mencengkeram dengan kuat.

“Emangnya di rumah gue enggak ada air?” tanyanya.

“Ada, tapi kan – kan gue sekalian mau ambil hp,” jawabku seraya menyengir kuda.

“Jadi lo mau mandi atau ambil hp?” tanyanya lagi.

“Dah, mandi di rumah gue aja. Ada pancurannya. Sabunnya lo tinggal pilih, ada sabun colek, sabun bubuk, sabun batang, sabun cair,” sambungnya, aku terheran-heran dengan aneka jenis sabun yang disebutnya.

Baru saja hendak protes, ia langsung mendorong punggungku dengan kedua tangannya sampai ke depan kamar mandi.

“Mandi yang bersih, jangan sampai ada aroma parfum,” ucapnya dengan penuh penekanan pada kata parfum.

Selesai mandi, aku memakai baju di kamar Kak Dela. Kamar yang bernuansa putih dengan beberapa sentuhan warna ungu pada sebagian barang-barangnya ini, terasa nyaman.

Kak Dela memberiku pakaian yang diambilnya dari lemariku.

“Nih baju lo. Gala yang suruh gue ambil di lemari lo. Padahal udah gue bilang, pakai baju gue aja. Eh, dianya maksa. Ribet emang tu anak,” cerocos Kak Dela sambil duduk di tepi ranjangnya yang berseprai  putih.

Ketika aku menutup tirai ruang ganti baju yang berada di sudut kamar, sayup-sayup terdengar suara isakan. Aku pun mempercepat gerakan. Lalu duduk di samping Kak Dela, sang pemilik tangis.

Kuelus kedua tangannya yang tersimpan di pangkuan. Memintanya untuk mengikhlaskan. Karena memang hanya itu kuncinya yang aku tahu.

“Gue – gue kangen Papa, Sa,” tangisan itu akhirnya pecah.

GalaBia [TAMAT]Onde histórias criam vida. Descubra agora