Bagian 7 - Deck Pad

49 5 1
                                    

"Kenapa?" tanya Gala.

Aku menggeleng dan langsung putar haluan, berjalan gontai menuju tempat parkir motor.

"Cemburu?" tanyanya lagi yang rupanya malah mengekoriku.

"Menurut lo?" tanyaku balik seraya duduk di atas motor Gala yang terparkir.

Gala tidak menjawab, ia berdiri di dekatku, kami sama-sama memandang Asta dari kejauhan. Asta terlihat seperti primadona.

"Namanya Elina, satu-satunya perempuan yang bikin Asta gagal move on," terangnya tanpa kuminta.

"Asta suka cewek yang begitu ya?" tanyaku pada diri sendiri.

Masih dengan tatapan lurus, kali ini Elina lebih menyita perhatianku. Gadis bertubuh mungil itu tampak akrab dengan teman-teman satu kumpulan Asta. Aku menelan getir, sebuah perasaan mulai berkecamuk.

"Yaa, iyalah, Suketi! Semua cowok juga sukanya perempuan kaya Elina. Udah cantik, seksi lagi. Enggak kaya lo! Sudah begajulan, tengil, enggak ada cantik-cantiknya pula!" ocehan Gala membuatku sontak memukulinya.

"Bisa-bisanya Gala denger ucapan gue!"

"Tuh, kan! Kasar! Cowok mana yang mau sama lo!" sambungnya yang menjauh dariku.

Aku turun dari motor, mengentakkan kaki sambil membuang muka. Bukannya minta maaf, Gala malah memberitahuku kalau Asta penyuka cewek yang seperti itu. Aku jadi menatap langit yang kian menghitam.

"Bagaimana ini?"

Perlahan, suara riuh orang-orang dan knalpot mulai tidak terdengar. Mereka asyik dengan perkumpulannya masing-masing. Jarak yang berjauhan, membuat hampir tidak terdengar adanya suara perbincangan. Hanya tawa yang meledak yang sesekali menembus indra pendengaran.

Malam pun semakin pekat, anginnya sudah mulai tidak enak. Meski tidak akan dimarah Mama, tapi Gala merasa cemas. Ia segera mendatangi Asta yang masih bersama teman-temannya dan Elina. Pamit untuk pulang duluan.

Di jalan, tanpa meminta persetujuanku, Gala menghentikan motornya di depan warung nasi goreng langganan kami. Sebuah warung sederhana yang hanya beratapkan terpal berwarna biru.

Terdapat sebuah meja kayu panjang yang sudah sedikit lapuk, lengkap dengan beberapa kursi plastik berwarna hijau. Bila melihat tempatnya, memang tidak memberi kepingin untuk singgah. Apalagi, letaknya yang hanya di depan toko.

Namun, soal rasa bisa diadu dengan nasi goreng mewah ala bintang lima. Sebab, penjualnya adalah mantan koki hotel bintang lima yang di PHK.

"Gue kenyang," ucapku sebelum Gala memesannya.

Lalu berjalan ke salah satu kursi. Saat ini, tersisa enam pengunjung, termasuk aku dan Gala.

Aku duduk memangku tangan, entah kenapa penampilan Elina begitu menyita pikiranku.

"Cemburu itu menguras hati ya ternyata?" Ucapan Gala membuyarkan lamunan.

Duduk di sampingku sambil menaruh sepiring nasi goreng ke atas meja. Gala memang baik hati, ia tidak ingin merepotkan penjual nasi gorengnya yang sudah berumur. Karena langganan, Gala jadi tahu kalau si Bapak kakinya sakit. Jadi, sejak mengetahuinya, Gala selalu berdiri di samping si Bapak yang memasak. Menunggu nasi gorengnya sampai selesai dibuatkan.

"Siapa yang cemburu?" tanyaku sembari menoleh kanan kiri.

"Lo lah, Suketi!" jawabnya yang tidak jadi menyuap nasi goreng.

"Dih! Cemburu sama lo? Amit-amit! Buat apa, nggak doyan!" kataku seraya mengetuk-ngetuk meja.

Ia melahap ganas sendok yang berisi penuh nasi goreng. Aku membuang muka, tidak peduli. Kupandangi jalanan yang sudah sepi. Juga si Bapak penjual nasi goreng yang mulai beres-beres karena pesanan Gala tadi ialah penghabisan.

GalaBia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang