Bab 14

44 6 0
                                    

Bel istirahat telah berbunyi. Rintik beranjak menuju kantin seorang diri, Maya berasalan sedang malas untuk berjalan ke kantin. Maka Rintik sediri yang ke sana. Menyusuri koridor-koridor, sesekali ia menyapa dan disapa oleh teman-temannya.

Sudah sewajarnya kantin, di sana begitu ramai, bahkan sudah berdesakan. Rintik mengedarkan pandangan ke sekeliling, ia masih melihat beberapa bangku kosong. Lalu ia cepat-cepat memesan makanan untuk ia lahap siang ini.

Hampir 10 menit ia mengantri, makanan yang ia pesan sudah siap. Ia membawa makanan tersebut menuju bangku-bangku yang tersedia. Namun, sayangnya, berbeda dengan 10 menit lalu, kini bangku-bangku tersebut sudah terisi semua.

Rintik menghela nafas. Tidak mungkin jika ia makan di bawah, atau mungkin di kelas. Kakinya bergerak gelisah, kesana kemari mencari ruang yang masih kosong. Hingga pandangannya menuju ke satu titik di mana itu ialah seseorang yang ia kenal beberapa hari lalu.

Sebenarnya Rintik sedikit takut untuk menghampiri laki-laki itu, karena kesan pertama yang ia beri mungkin sedikit buruk, dan Ajitama memiliki gaya bicara yang ketus. Namun pada akhirnya ia tetap memutuskan untuk menghmpiri Ajitama, dan tanpa ragu ia berdiri di depannya.

"Halo, Ajitama! Aku nggak tau apa kamu inget aku—"

"Gue inget. Lo Rintik, kan?" putus Ajitama.

Rintik mengangguk senang, senyumnya mengembang sempurna, "iya! Aku Rintik! Kok kamu bisa inget?"

Ajitama tersenyum kecil, "gue nggak pikun kali," jawabnya sungkat. Pandangan lelaki itu menjelajah ke seluruh kantin, ia menyadari bahwa tidak ada bangku kosong di sana, mungkin itulah sebabnya Rintik menghampiri dirinya. "Lo nggak dapet tempat kan? Duduk aja di sini."

"Nggak apa-apa?" Setelah mendapat anggukan dari Ajitama, Rintik segera duduk di depan lelaki itu dan menyantap makanannya, ia sudah begitu lapar.

Ajitama memperhatikan gadis di depannya ini dengan seksama. Raut wajah Rintik yang begitu serius dalam mengunyah makanan mungkin merenggut perhatiannya.

"Pelan-pelan kali, nggak ada yang mau minta makanan lo," kata Ajitama seraya terkekeh pelan.

Rintik menoleh ke arahnya, ia tersenyum malu. "Aku laper banget. Rasanya nih cacing-cacingku udah pada demo," balas Rintik, lalu menyuapkan sesendok lagi.

Ajitama tertawa sekilas. Ia pun kembali fokus pada makanannya. Keduanya sama-sama hening, sibuk menikmati makanan yang tersaji. Tidak butuh lama hingga Tama menyelesaikan makanannya lebih dulu, baru disusul oleh Rintik.

"Oh, ya, kamu itu dipanggil Aji atau Tama sih?" tanya Rintik.

"Ya, dua-duanya bisa. Tergantung yang manggil aja, kalau lo mau panggil gue Aji, ya silakan, kalau Tama pun ya silakan."

Rintik mengangguk paham sembari mengulum bibirnya. "Yaudah, aku panggil Aji aja, deh." Agar lebih mirip dengan Raga niatnya.

Tama mengangguk mengiyakan. Pandangannya kembali mengedar ke segala penjuru kantin. Ia mengerutkan alisnya, mengundang perhatian Rintik. Laki-laki itu mendengus kasar.

Ia menatap ke arah Rintik, "gue duluan gapapa? Cewe gue liat kita, gue takut salah paham."

Rintik tertegun, cepat-cepat ia mengangguk. Ia pun merasa tidak enak pada kekasih Tama jika terjadi kesalahpahaman, terlebih bila dirinya ikut terlibat.

Tanpa menunggu lama, Tama segera beranjak dari posisinya dan mengejar perempuan yang kini berjalan dengan hentakan kaki yang cukup keras. Bibirnya cemberut dengan raut yang sangat nampak bila ia sedang kesal.

"Dian!" panggil Tama pada kekasihnya di koridor kelas.

Perempuan yang dipanggil itu sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Ia tetap berjalan tanpa arah dengan gemuruh cemburu di dalam dadanya. Hingga jarak antara dia dan Tama terpaut cukup dekat, Tama menahan tangannya, membuat ia terpaksa membalikkan badan.

"Aku minta maaf. Tadi cuman kebetulan," ujar Tama lirih.

Diandra mendengus kesal, "kebetulan? Kalau kebetulan, kenapa kalian kelihatan akrab? Kenapa kalian makan sambil ngobrol? Padahal jelas-jelas piring kalian udah kosong. Kamu kenal cewek itu dan kamu ngga cerita apapun ke aku. Apa aku ngga boleh kesel?"

Tama menatap canggung ke sekelilingnya, melihat beberapa orang melewati keduanya. Ia menghela nafas panjang, sebenarnya ini bukan yang sekali tentang kecemburuan Diandra, sudah entah yang ke berapa. Namun Tama masih belum merasa lelah dengan sikap Diandra yang seperti itu.

"Gini, Dian, aku sama dia bener-bener cuman temen, atau bahkan cuman sekedar kenal. Beberapa hari lalu aku sama dia ketemu di lapangan, terus tadi dia ngga dapat tempat duduk, jadi aku persilakan buat duduk sama aku. Ya kami ngobrol dikit, cuman kenalan lagi aja. Udah, gitu doang," kata Tama dengan jujur.

Seolah tak mau kalah, Dian melanjutkan kalimatnya, "harusnya kamu ngertiin aku, Tam! Kamu tau kan aku ngga suka kamu punya temen cewek? Tapi kenapa tetep aja?"

Kali ini Tama benar-benar menunjukkan helaan nafas kasarnya, "iya, aku tau. Sekarang liat deh, kamu sendiri juga punya temen cowok, aku ngga ngelarang kamu sedikit pun. Tapi kenapa setiap aku kenal sama cewek, kamu marah, Di?"

"Ya, karena aku ngga suka. Semua cewek tuh bakal ganjen ke kamu, liat tuh cewek tadi, genit. Lantai kantin tuh luas, bisa kali dia duduk di bawah!" seru Diandra lebih keras, berharap Rintik atau teman yang Rintik kenal dapat mendengar.

"Terserah, aku balik." Tanpa menunggu balasan apapun dari Diandra, Tama beralih meninggalkan gadis itu sendiri. Ia berjalan menuju kelasnya tanpa peduli Diandra yang semakin kesal.

* * *

Rintik sedang  bergegas merapikan barangnya ketika Ardi dan Kaela berdiri di depan kelas. Mereka mengayunkan tangan, menyuruh Rintik untuk segera selesai dan menghampiri keduanya. Rintik mengangguk, lalu dengan lebih cekatan merapikan meja beserta barang-barang di atasnya.

"Aku duluan, ya," pamitnya pada Maya dan Alana. Kedua teman sekelasnya itu mengangguk, tidak lupa mengucapkan ucapan hati-hati untuk Rintik, yang dibalas anggukan juga.

Kaela menyambut Rintik dengan raut wajahnya yang khawatir, mungkin karena sesuatu yang Rintik sudah tahu. "Kamu ngga papa kan?" tanyanya cemas.

"Ya, nggapapa. Tapi nyesek dikit sih, kaya bisa-bisanya dia kaya gitu? Nyebelin," jawab Rintik seraya mulai berjalan pulang.

Ardi memilih untuk diam, tidak ikut larut dalam pembicaraan keduanya. Namun ia tahu jelas siapa dan apa yang mereka bicarakan. Ia berjalan di belakang Kaela dan Rintik.

"Iyasih, secara selama ini kamu sering banget kan cerita tentang Raga ke dia? Kalau aku ngga salah, kamu lebih deket sama Resa kan dibanding aku?" Rintik mengangguk, menanggapi itu. "Nah, harusnya dia ngga gitu dong. Minimal jaga hati lah, aku tau dia baperan, tapi yakali?"

"Iya, Teh. Tapi ya aku ngewajarin aja kalau dia suka Aji, lah Aji aja seganteng dan sebaik itu? Yakali dia ngga kepincut. Sama mantannya yang kaya gitu aja dia bucin setengah mati, apalagi ke Aji?"kata Rintik, ikut menambahkan.

Ardi yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan mereka pun ikut mengambil suara, "yaudah, biarin aja. Lagian Raga juga ngga mesti suka Resa balik."

Kaela menoleh ke arah kekasihnya itu, "iya, emang. Tapi ini tuh tentang dia ngga tau diri, Ar. Bayangin deh, kalau semisal Rendra suka aku, kamu ngga bakal marah emang?" katanya semakin bersemangat.

"Yaa... Iyasih, aku juga nggak terima," kekeh Ardi. Laki-laki itu beralih menatap Rintik yang juga menatapnya, "lo harus percaya aja ke gue kalau Raga nggak bakal suka sama Resa. Pegang deh kata-kata gue."

Rintik mengangguk. Walaupun dari dalam hatinya, ia tidak percaya pada hal itu. Sebab bila dilihat dari seluruh sudut pandang yang ada, Resa jauh lebih baik dibanding dirinya dalam segala aspek.

Namun, ia pun berharap jika apa yang ia pikirkan tidak akan terjadi nantinya.

_________________________________________

Senandikaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن