Bab 3

94 17 1
                                    

Sudah 1 bulan sejak Raga berangkat. Satu bulan juga Rintik banyak hanyut dalam sedihnya. Hubungannya dengan Reynal tidak jelas apakah masih berlanjut atau usai. Keduanya tidak menjalin komunikasi seminggu terakhir.

Rahasia kecilnya, Rintik sedang dekat dengan teman seangkatannya. Anak voli, juga OSIS. Bukan hanya dekat, keduanya juga sudah menjadi pasangan 4 hari lalu. Tidak banyak yang tahu, Rintik juga tidak mau.

Di antara teman-teman Rintik pun hanya Naresa yang tahu. Naresa selalu tahu banyak hal tentang Rintik. Dia juga satu-satunya orang yang tahu tentang perasaan Rintik untuk Raga. Tidak ada orang lain lagi.

Siang itu matahari bersinar terik. Menyengat kulit dan mengundang dahaga. Sayangnya di siang yang panas ini, Rintik malah kebagian jadwal olahraga di siang hari.

Tubuhnya tersiram cahaya matahari dan dibanjiri oleh peluhnya sendiri. Malas bergerak, ia memutuskan untuk mengistirahatkan badannya di pinggir lapangan. Bukan hanya dirinya, hampir sebagian besar temannya juga memilih untuk tidak melanjutkan kegiatan olahraga.

Dengan berbekal satu botol air mineral, ia mengipasi dirinya dengan kedua tangan sesekali mengeguk air dari dalam botol.

"Panas banget," eluhnya pelan.

"Rin."

Dengan gerakan cepat, Rintik menoleh ke belakangnya. Tatapan memicing heran. Ardi ada beberapa langkah di belakangnya, dengan tangan yang ia sembunyikan dibelakang badan.

Rintik menyeka keringatnya, kemudian cepat-cepat berdiri, "eh, kenapa? Tumben lo nyamperin gue," tanyanya.

Ia tidak terlalu akrab dengan Ardi. Malah bisa dibilang tidak akrab sama sekali. Rahasia kecilnya, Rintik takut untuk berinteraksi dengan laki-laki yang nampak cuek itu-walaupun sebenarnya tidak. Menurut Rintik, Ardi itu seram. Walaupun Ardi teman dekat Raga, ia tetap tidak berani berbicara dengan Ardi.

Namun sekarang Ardi malah menghampirinya dan ada dibelakangnya. Usia mereka terpaut 3 tahun-tapi dengan kelas yang terpaut 2 tahun-membuat Rintik kadang merasa sungkan dengannya juga.

"Gue punya sesuatu buat lo," jawab Ardi. Ia menjulurkan tangannya. Menyodorkan lipatan kertas yang sudah tidak rapi.

Rintik mengambil dengan ragu, semakin heran dengan kehadiran Ardi.

"Ini apaan?"

Ardi menghela nafas, "gue minta maaf baru kasih ini ke lo. Titipan dari Raga waktu dia mau berangkat dulu, jadi lo wajarin aja bentukannya udah kaya gini."

Jantung Rintik terpacu lebih cepat. Jauh lebih cepat daripada saat ia berlari mengelilingi lapangan tadi. Tangannya dengan ragu membuka lipatan kertas itu. Namun dengan tangkas, Ardi mencegahnya.

"Jangan. Nanti kalau lo nangis, gue yang disalahin. Buka di rumah aja,"

Mengangguk paham, Rintik tersenyum simpul, "makasih, ya, Ar."

"Iya, sama-sama. Gue minta maaf sekali lagi," kata Ardi. Laki-laki itu tidak lekas pergi dari depan Rintik, membuat gadis itu bergerak kikuk. "Lo suka Raga, ya?" Tanya Ardi terus terang.

"HAH?!"

Ardi mengernyitkan dahi, terkejut dengan teriakan Rintik. "Santai aja kali, Rin. Raga juga udah tau kalau lo suka dia," ucapnya.

"KOK BISA?!"

Beberapa siswa-siswi yang lewat melayangkan padangan mereka ke Ardi dan Rintik. Membuat Ardi mendesis pelan, malu.

Ardi membuat gerakan tangan untuk Rintik memelankan suara, lalu melanjutkan bicaranya, "Raga itu peka. Walaupun lo nggak pernah bilang, dia tau itu."

SenandikaWhere stories live. Discover now