Bab 13

46 6 5
                                    

Teh Resa: kamu masih suka Aji?

Pesan masuk itu belum dibalas sama sekali oleh Rintik. Sebab menurutnya, sedikit aneh jika Naresa tiba-tiba menanyakan ini. Padahal baru beberapa hari lalu, atau bahkan kemarin, Rintik mengeluh tentang Raga, menanyakan keberadaan Raga pada dirinya sendiri.

Namun, setidaknya Rintik tidak ingin dengan cepat mengambil kesimpulannya sendiri jika Naresa menyukai Raga. Dibalik itu, penjelasan Rendra bila hati Naresa sudah bukan untuk Rendra lagi, membuat Rintik diserang khawatir. Kembali ia katakan bahwa laki-laki di dunia bukan hanya perihal Raga, maka ia berharap bila itu adalah laki-laki lain.

Ia beranikan diri untuk mengetik balasan. Lagipula, untuk apa dia takut? Naresa tahu jelas jika Rintik menyukai Raga, dan mungkin Raga sendiri juga sudah tahu pasti. Maka tidak ada alasan untuknya takut jujur pada Naresa.

Rintik: masih, banget malah.
Rintik: kenapa, Teh?

Teh Resa: wih, keren, yaa.
Teh Resa: pasti makin deket sama Aji.

Rintik: yaa, enggak juga.
Rintik: biasa aja.
Rintik: Teteh masih di warkop?

Teh Resa: iya. Ngantuk.
Teh Resa: tapi Aji belum mau pulang.
Teh Resa: duh.

Rintik tersenyum masam membaca pesan terakhir dari Naresa. Merasa kata yang dilontarkan oleh Naresa sedikit sensitif untuknya. Mungkin Rintik merasa berlebihan, namun yang ia rasa lebih ialah kesal atau bahkan cemburu.

Walau ia sadar betul harusnya tidak bersikap sedemikian rupa, terlebih Naresa adalah sahabatnya sendiri, dan Raga juga tidak hanya berteman dengannya saja. Rintik juga hanya sebatas teman dengan Raga.

Menghela nafas perlahan, ia merasa penat hanya karena pikiran tak terarah tentang Raga dan Naresa, yang harusnya tidak perlu ia pikirkan lebih jauh. Rintik mengambil posisi ternyaman untuk berbaring, lantas memejamkan mata dan bersiap mengarungi pulau mimpi tanpa pikiran tentang Naresa lagi.

Harapannya, esok bisa lebih baik.

* * * *

Mentari mulai menyapa, menyelinap dalam celah-celah jendela untuk sekedar membelai atau menemani. Rintik telah bersiap sejak tadi, menyiapkan peralatan untuk sekolah, merapikan pakaian dan juga rambutnya.

Kali ini ia melewatkan sarapan, entah sebab ia lelah atau karena rasa galaunya. Namun ia memilih abai, lagipula sarapan bisa ia cari nanti di sekolah. Rintik menggendong tasnya di pundak, lalu berjalan ke luar untuk menemui Mentari yang mungkin sudah siap mengantar.

Hal yang pertama kali dilihat adalah pemandangan Mentari yang sedang sibuk menyirami tanamannya. Gadis itu begitu jeli, hingga rasanya tidak ada sedikitpun tanaman yang luput dari mata tajamnya. Wajahnya begitu tegang, walau begitu sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikan seorang Mentari.

Rintik menghampiri kakaknya itu, "Kak, ayo berangkat."

Mentari menghentikan kegiatannya, menatap Rintik dengan matanya yang masih begitu tajam. "Kamu nggak makan dulu?" tanyanya.

Rintik balas menggeleng.

"Yaudah. Bentar, ya. Kakak mau siap-siap dulu, kamu tunggu sini aja," sambung Mentari, kemudian segera bergegas ke dalam setelah sebelumnya ia menaruh alat yang ia gunakan untuk menyirami tanaman di meja.

"Rin, inget, ya, nanti kamu harus makan. Laper ataupun enggak, tetep harus makan. Oke?" kata Mentari, berusaha memastikan sebelum ia meninggalkan Rintik di sekolah.

SenandikaWhere stories live. Discover now