Bab 6

66 18 0
                                    

"OMAYGAT RINTIK!"

Tanpa disangka, laki-laki yang ia kira akan lupa ternyata masih ingat jelas siapa namanya. Teriakan tersebut mengundang perhatian banyak orang, namun satupun tidak ada yang merasa malu.

"AJI!" Rintik berlari menghampiri Raga. Dengan senyum yang mengembang sempurna. "Aji! Akhirnya ketemu lagi!"

"Kaya udah setahun nggak ketemu aja," cibir Ardi tepat di depan keduanya, namun tidak digubris.

Ajiraga sendiri masih sama, benar-benar tidak ada yang berubah. Ia berdiri ketika Rintik tepat di depannya, "iya! Seneng, yaa."

Rintik mengangguk semangat. Kepalanya menoleh ke Naresa dan Kaela bersamaan. Kaela berdehem keras, enggan menyembunyikan senyum ambigunya. Untung Ajiraga sama sekali tidak menoleh ke arahnya saat ini.

"Ikut aku yuk!"

* * *

Rintik tidak bisa menyembunyikan senyum ketika Raga dengan langkah lebar melangkah didepannya. Masih dengan seragam lengkap, entah kemana Raga akan mengajak ia berkeliling. Pastilah bukan keliling dunia seperti yang Raga sampaikan tadi. Mungkin bila Raga berjalan sedikit lambat dan bersisihan dengan Rintik, ia akan mendengar jantung gadis itu berpacu cepat.

Mereka sudah berjalan jauh dari warung kopi tersebut. Raga seolah tidak ingin mengucapkan sepatah kata, begitu pula Rintik. Bukannya canggung, hanya bingung ingin memulai percakapan dari mana. Karena bagi dua remaja yang gemar berbagi cerita, waktu selama itu tentulah membuat berbagai cerita menumpuk untuk diceritakan.

Kadang Rintik membuat-buat suara seperti tersedak atau bahkan bersin yang sangat nampak jika tidak alami. Atau Raga yang sesekali tersandung, namun malah mengundang tawa Rintik. Memang ia bermaksud tertawa, karena memang sudah umum menertawakan teman yang sedang jatuh atau berduka.

Setelah berdeham pelan, Rintik memutuskan untuk memberanikan diri memulai percakapan. "Aji, kita mau kemana deh?" tanyanya.

Raga menoleh, sejenak berhenti melangkah. Berdiri dihadapan Rintik, kemudian menunduk dalam. Raga menggeleng kecil, "aku nggak tau, Rin. Tadi tiba-tiba aja pengen ajak kamu jalan, walaupun nggak ada tujuan begini," ia menjawab jujur.

"Aneh kamu, Ji," Rintik tertawa, Raga juga mengikuti. "Kamu apa kabar?" ia kembali bertanya, kali ini sembari berjalan ke warung kopi lagi.

"Aku baik, seperti biasa. Kamu juga baik kan? Gimana waktu nggak ada aku? Makanmu teratur?"

Rintik mengangkat bahu, "ya begitu saja, Ji. Ada ataupun nggak ada kamu, pola makanku nggak pernah berubah."

Raga mengangguk paham. Sering kali ia mengingatkan tentang pola makan gadis itu, namun semakin sering ia tegur, semakin sering juga Rintik mengacuhkannya. "Nggak apa-apa, wajar. Kan Rintik masih kecil," katanya, setiap kali Rintik mengomel tentang dirinya yang bawel tentang pola makan Rintik.

Percakapan keduanya mengalir pada sekolah masing-masing. Rintik bercerita bagaimana ia yang susah memahami pelajaran matematika. Sementara Raga cerita bagaimana ia dihukum mengelilingi lapangan tanpa alas kaki ketika terlambat mengikuti kegiatan salat berjamaah. Raga juga bercerita tentang dia yang ternyata sekolah di asrama dan kini kembali ke Jakarta setelah merawat ibunya yang sakit. Kemudian Rintik yang bercerita tentang tongkrongan yang sepi karena tidak ada Raga. Padahal Raga tahu betul kalau ada ataupun tidak ada dirinya, tongkrongan itu pasti tetap ramai.

"Kamunya mungkin yang kangen aku, makanya ngerasa sepi kalau nggak ada aku."

Cepat-cepat Rintik menyangkal, "mana ada! Memang sepi tau. Coba aja tuh kamu ke warung waktu nggak ada kamu, pasti sepi deh."

SenandikaWhere stories live. Discover now