9. Tentang Janetha

378 85 34
                                    

Voment ya^^

Kini, di antara dua cup ammericano yang ada di atas meja lantai dua Light Up Cafee itu duduk dua orang pria dewasa yang sengaja mengagendakan pertemuan untuk sebuah percakapan.

Di kanan ada Byantara dan di seberang kiri ada Jarel. Keduanya saling memutuskan untuk bertemu setelah Byantara mengatakan bahwa Janetha ada di apartemennya. Pun untuk Jarel, itu adalah sebuah kesempatan baginya untuk bertanya apa maksud Byantara bersikap seperti ini pada adiknya.

"Lo naksir Janetha, Yan?"

Byantara nyaris tersedak ludah jika tidak cepat mengendalikan diri. Jarel dan Janetha sama saja, kalau berbicara seakan tanpa dipikir lebih dulu.

"Gak gituㅡ"

"Terus?" Cecar Jarel menuntut, "Lo lama ilang, Yan. Balik-balik malah berubah banyak. Jadi pendiem kek ansos gituㅡgila, Yan, lo lost kontakin kita semua. Dideketin kek menghindar. Tapi malah gue dapet kabar nyeleneh dari Caesar kalau lo jadi dosen. Dosen pendiem tuh gimana konsepnya? Mau ngajarin kelas meditasi lo?"

Byantara masih diam, mendengarkan meski sembari merutuk dalam hati.

"Kagetnya lagi Tha bilang lo jadi dosen di kampusnya dia. Sekarang malah dapet kelas lo lagi. Gak nyangkanya lagi, lo sering deket sama Janetha tiba-tiba. Lo gak menebar radikalisme kan, Yan? Ntar adek gue lo ajak jadi teroris lagi."

Tatapan Byantara tidak menunjukan ekspresi banyak, tapi Jarel dibuat mati kutu. Meski diam, Byantara mengintimidasi keadaan disana.

"Lo kalau ngomong biasain bismillah dulu, Ja. Sembarangan aja ngatain orang radikal."

"Ya kali aja selama lo ngilang ternyata ngikutin sekte sesat."

"Lo sama kayak Tha banget. Suka asal mangap."

"Ya terus jawab dong pertanyaan gue. Blangsak-blangsak gitu, Tha adek gue, Wak. Mana lo tiba-tiba bilang dia nginep di apartemen lo lagi. Gila, mana iya-iya aja itu capung empang." Jarel memijat pangkal hidungnya sampai kacamatanya melorot, "Tha beda, Yan. Tha beda."

"Gue tau." Kata Byantara ringan, "Gue tau kalau dia beda. Tapi kalau lo tanya gue kenapa sebegininya sama Tha, gue juga masih nyari jawabannya, Ja. Dia tadi juga nanyain hal yang sama, dan gue gak berhenti mikir jawabannya apa."

"Tau?" Tanya Jarel ulang.

Byantara menatap cup americcanonya yang sudah berembun, "Dia ketawa di depan semua orang, tapi ada satu momen yang gak sekali-dua kali gue lihat, dia jadi pendiem. Dia seakan punya dunianya sendiri. Di tengah ramaipun dia sering ngelamun. Sekalipun matanya kelihatan kacau, dia nutupin itu sama tawa yang sayangnya gak bisa bohong kalau dia memang lagi dikondisi gak baik-baik aja."

"Dia gak dikondisi baik buat berbaur di sekitar banyak orang. Sekalipun nanggepin, dia kelihatan gak nyaman. Capek, lelah, gesturnya ditutupin sama celamitannya itu. Yang gue tau, dia cuma berpusat sama Sabit, Wafda sama Ghina. Lainnya sekedarnya aja, cenderung menghindari banyak orang. Meskipun nyablak, dia kelihatan cuma nyoba ngelawan kegaknyamanan dia."

Jarel menyimak meski dadanya sedang bergetar hebat mendengar Byantara menjelaskan.

"Gue pernah perhatiin dia presentasi di depan kelas dosen lain. Dia gak baik-baik aja, jelas gue lihat dia gak baik-baik aja meskipun gue tau dia nyoba ngelakuin hal terbaik yang dia bisa buat kelompoknya. Keringatnya banyak, tangannya gak berenti gemeter, suaranya kadang pecah, kalau diketawain, dia ikut ketawa, tapi gue tau, dia butuh ditolongin."

"Sorry kalau lo harus denger ini dari gue, Ja." Kata Byantara memulai cakap selanjutnya, "Tiap habis berantem sama orang tua loㅡ"

"Lo tau?"

Cover - CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang