Namun sekali lagi, pikirannya menjadi kalang kabut, hatinya hancur berkeping ketika mengingat sumpah serapah bodoh Asavella yang memutuskan untuk tidak ingin berjumpa dengannya.

Riri memendarkan pelukan—menarik lembut pergelangan tangan Brian untuk mengajak sang anak duduk di ruang tengah. Dan betapa manjanya anaklaki-laki itu yang langsung membaringkan tubuh di sofa panjang berwarna abu-abu tua. Dan membuat paha Riri menjadi bantalan kepalanya.

“Bunda ambil obat dulu ya, kak.”

Brian menggeleng. Menahan gerak Riri yang hendak ingin beranjak dengan kepalanya.

“Biarin gini, bun. Luka kakak enggak seberapa sama luka yang aku buat selama ini untuk dia.”

Riri mengusap-usap rambut Brian. Netra Riri menyipit sejenak ketika melihat bekas garis vertikal dari bagian alis hingga pipi bagian kanan.

“Kak,” panggil Riri.

“Kamu tadi enggak pakai foundation?” tanya Riri memastikan.

Brian menatap mata Riri. “Pakai, kok. Tapi hujan tadi luntur. Untugnya, Jysa bantu kakak pakai lagi sama punya dia. Kalau enggak, Asa bakalan tahu soal ini.”

“Kamu jangan sering nangis, apalagi di hadapan Asa, nanti foundation buat nutupin luka mu hilang, kak.”

Brian mengangguk pasrah. Tempurungnya memutar sebuah pertanyaan.

“Aku gatau reaksi Asa, kalau Asa tau soal bekas ini. Sebenci apa jika ia tahu.”

“Aku takut, bun. Aku udah mencintainya sejak awal. Tapi aku udah punya pacar.”

"Bahkan aku kalau bucin, lupa mana yang benar dan salah."

Riri sedikit menunduk untuk mengecup kening Brian. lalu tersenyum.

“Terjebak dilema memang sulit, kak. Tapi, ingat tujuan awal kakak. Bagaimanapun, kakak sudah berjuang dan berjanji enggak akan taruh hati ke adik kamu sendiri.”

“Andaikata, kakak enggak ambil amanah dan berjanji untuk enggak jatuh hati ke Asa, terus menceritakan sejak awal semuanya. Mungkin, cerita kakak dan Asavella berbeda, kak.”

“Mungkin juga … jauh lebih bahagia.”

ฅ^•ﻌ•^ฅ

"Eumh ...."

“Oh shit!!” desah Bagus sampai bercucur keringatan. Membuat Keci mengernyit—dan terdiam.

“Sesad lo!!” pekiknya yang menjitak langsung dalam posisi tubuh yang tertidur dengan tangan kanan yang main ponsel.

“Apanya yang sesad, bangsat! Kenapa harus sempit juga, pakai warna pink juga!” gerutu Bagus yang yang berusaha melepas.

“Ya ... siapa suruh dimasukkin! Minggir! Biar gue yang lepas!” Keci hendak beranjak bangun namun tubuhnya di dorong Bagus.

"Gabut lo enggak bermutu."

"Tapi menarik perhatian, kan?"

"Perhatian enggak nyusahin iya! Sini gue aja yang lepasin!"

“Ck. Diem lo! Yang ada putus kalo lo tarik! Inget, jangan sampai yang lain tahu! Malu gue.”

Keci mengernyit. “Lah, salah siapa panjang gede jugak! Nyangkut kan?”

“Bantuin napa …, tapi pelan-pelan.” Bagus masih berusaha payah untuk melepas namun sia-sia yang ada hanya berkeringat dingin diruangan ber AC.

“Ogah. Biarin nyangkut.”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now