Jesi 34 •This is The Fact?

33.1K 5.2K 871
                                    

Bismillah
Double up seperti mau kalian semua
Awas aja ya kalo feedback-nya nggak banyak
Mogok update entar wkwk

Semangat dan selamat membaca

***

"Jadi?" Aku masih setia menunggu respon Mas Rizal yang sedang memperhatikan foto dalam ponselku dengan seksama.

"Siapa yang kirim gambar ini?" Alih-alih menjelaskan, dia malah melontarkan pertanyaan yang tidak ada relevansinya sama sekali.

Aku mendengus. Menyandarkan punggungku pada sofa, lalu memandangnya yang kini juga sedang fokus memandangku. "Aku lagi nanya,  Mas. Dan jangan balik nanya sebelum kamu jawab pertanyaannya!" Ujarku dengan dongkolnya.

Lagian apa susahnya langsung menjelaskan sih, tinggal jujur dan aku pasti akan menerimanya dengan lapang dada. Apalagi sudah ada bukti fisik sehingga percuma saja jika dia tidak mau mengakui bahwa kejadian di foto itu memang benar-benar terjadi.

"Aku bisa jelasin, bee..." Responnya sembari menegakkan posisi duduknya.

"Ya udah sok, aku dah tunggu dari tadi." Intonasi suara ku sudah seperti orang yang sudah malas karena Mas Rizal memang tidak kunjung juga mengatakan apapun perihal foto itu.

Kulirik dia mengambil napas panjang. "Iya, kemaren aku ketemu Arin."

"Hari ini?"

Sebenernya aku hanya iseng-iseng melontarkan pertanyaan tersebut. Tapi anggukan yang diberikan Mas Rizal benar-benar membuatku tidak percaya hingga dadaku terasa begitu sesak dalam sekejap saja.

Jadi maksudnya hari ini dia lebih memilih menemui mantannya daripada mengantarkan ku ketemu WO untuk membicarakan pernikahan kami?

Apa dia sudah tidak waras atau gimana?
Pikirku tidak bisa positif thinking lagi seperti sebelumnya.

Aku tertawa miris menanggapi jawabannya. "Jadi?" Hanya satu kata itu yang berhasil aku utarakan untuk meminta Mas Rizal bercerita lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Meski aku sendiri merasa sangat takut, aku mencoba memberanikan diri untuk mendengar penjelasan darinya. Aku bahkan sudah bersiap mundur dan menerima segala konsekuensi dengan lapang dada jika-jika penjelasannya akan berujung pada dia yang belum bisa melupakan sepenuhnya sosok Mbak Arin.

"Aku ketemu dia murni cuma kasihan, bee. Dia ngasih tau aku kalo lagi ada masalah besar di keluarganya dan butuh orang lain buat berbagi cerita. Jadi pas kelar rapat aku nemuin dia sebentar hari ini." Jelasnya dengan ekspresi mata yang seolah memintaku untuk mengerti keadaannya.

Lagi-lagi aku tersenyum miris. "Jadi kamu nggak kasihan sama aku?"

"Bukan kaya gitu, bee!" Mas Rizal mengacak rambutnya karena sadar bahwa kali ini perbuatannya sudah keterlaluan.

Dalam hal tingkat kemarahan, aku memang akan cenderung diam atau bersikap dingin seperti ini saat level kemarahan ku sudah tinggi dan bercampur dengan rasa kecewa. Dan selama menjalin hubungan denganku, mustahil jika dia tidak sadar bahwa saat ini aku benar-benar kecewa dan tidak bisa memaklumi perbuatannya.

"Termasuk adegan berpelukan itu juga karena kasihan?" Tanyaku karena tak habis pikir dengan jawaban yang dia berikan.

Awalnya aku masih berpikir bahwa dia mungkin akan mengatakan bahwa itu adalah pertemuan terakhir untuk memperjelas masa lalu. Dan pelukan yang dilakukan pun hanya sebatas pelukan perpisahan dengan  alasan yang sama. Tapi apa mau dikata, sepertinya asumsi ku itu terlalu bias dengan harapan sehingga setelah Mas Rizal memberitahu bahwa itu adalah pertemuan karena rasa kasihan (aku lebih suka menyebutnya rasa peduli dan sayang), rasa sakit yang aku rasakan berkali-kali lipat lebih besar dari apa yang sebelumnya aku bayangkan.

"Itu gerak refleks, bee. Dia nangis dan kamu tau kan aku paling nggak bisa lihat cewek nangis ...."

YA ALLAH MAS RIZAL ...

KAMU TAU NGGAK KALO PERBUATAN KAMU YANG NENANGIN TANGISAN MANTAN BIKIN CALON ISTRI KAMU OVERTHINKING SEMALAMAN?

Rasa-rasanya aku ingin berteriak di hadapannya dan mengatakan bahwa aku sangat benci dengan mantan pacarnya itu.  Bukan bermaksud hilang empati karena tidak memahami bahwa Mbak Arin sedang punya masalah besar  yang entah sebesar apa kenyataannya, tapi bukankan masih ada tujuh milyar orang lain di bumi ini yang bisa menjadi teman curhatnya?

Seketika rasa hormat ku dengannya menghilang entah menguap kemana.

"Kamu masih sayang sama dia, Mas?" Mati-matian aku berusaha menanyakan pertanyaaan sensitif yang mungkin saja akan membuat ku down.

Namun dari pada harus menduga-duga dan bermain asumsi, aku memilih untuk mengambil resiko dan menanyakan padanya tentang perasaanya pada Mbak Arina.

"Aku nggak tau, bee." Tiga kata yang membuatku serasa dijatuhi tembok besar yang menimbulkan rasa sakit yang mungkin tidak bisa aku lupakan.

Nggak tau?
Bagaimana mungkin dia mengatakan seperti itu jika pernikahan kami saja sudah berada di depan mata.

"Aku nggak tau apa yang aku rasain ke dia, bee. Antara kasihan atau emang masih ada sedikit rasa sayang." Lanjutnya dengan nada frustasi.

Aku mengangguk. Mencoba memahami perasaanya karena saat ini kami sudah sama-sama dewasa. Memahami betul bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, bahkan perubahan perasaan pada pasangan.

"Kalo sama aku, gimana perasaan kamu?"

"Aku cinta banget sama kamu, bee."

"Jadi maksud kamu dalam satu waktu kamu sayang sama dua orang sekaligus?"

Mas Rizal terlihat frustasi dengan dirinya sendiri. Sementara aku? Hanya tersenyum dengan perasaan yang sudah campur aduk.

"Sekarang kamu pulang dulu, Mas..." Perintahku saat dia tidak bisa menjawab pertanyaan ku dengan lantang seperti sebelumnya.

Aku tahu pasti bahwa badai yang menghampiri hubungan kami kali ini bukan badai biasa, karena selama aku mengenal Mas Rizal belum pernah sekalipun dia menjadi orang yang penuh keraguan seperti ini.

"Bee..."

"Pulang, Mas!" Perintahku sekali lagi.

"Kamu perlu menyendiri buat nyari tahu gimana perasaan kamu yang sebenernya." Lanjutku lagi.

"Kita nggak mungkin bisa nyelesein masalah kalo kamu sendiri masih ragu sama perasaan kamu. Kamu perlu berdamai sama perasaan kamu sendiri, menerimanya, dan baru nanti balik ke sini kalo kamu udah yakin sama apa yang sebenarnya kamu mau dan kamu rasain."

"Bee..." Aku masih tidak meresponnya yang ingin menginterupsi karena masih ada beberapa hal yang perlu aku utarakan.

"Aku bakalan nerima semua keputusan apapun yang akan kamu pilih, termasuk siap mundur dari pernikahan kita kalo kamu ternyata masih ragu." Ujarku yang membuat Mas Rizal memandangku tidak percaya.

"Ayo, Je! Jangan nangis di depan dia." Batinku menyemangati.

"Bee!" Mas Rizal sudah memanggil ku dengan nada tinggi.

Sebuah respon yang wajar karena ungkapan membatalkan pernikahan saat sebagain besar persiapan sudah dilakukan bukanlah lagi hal yang bercanda.

"Dengerin aku dulu, Mas!" Aku ikut berteriak karena sudah benar-benar tidak bisa berpikir dalam menghadapi situasi ini.

Aku menundukkan kepala dan menutup wajahku dengan dua telapak tangan. "Jangan mendekat, Mas!" Peringat ku agar Mas Rizal yang duduk dipisahkan meja denganku tidak berpindah untuk menenagkanku.

"Aku mohon kamu pulang sekarang, Mas...." Permintaanku dengan nada yang sudah sangat putus asa.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang