9. Secret

159 20 3
                                    

Kun menyesap rokok ditangannya. Angin malam menerpa rambutnya yang sedikit gondrong, terasa begitu dingin, namun Kun masih merasa kepanasan jika berada di dalam apartemen.

Beberapa menit lalu sungguh pengalaman yang sangat indah, sudah berapa lama dia tak melakukannya? Dia bahkan lupa kapan terakhir dia melakukan itu.

Kun menjentikkan abu rokok di pagar balkon apartemen. Punggungnya lalu tersandar di sandaran bangku. Menyesap lagi rokok di tangannya, dia memejamkan kedua matanya kemudian menghembuskan asap rokoknya perlahan.

Pikirannya masih terbayang aksinya di atas ranjang bersama Yeona tadi. Akankah ada hari esok untuk melakukannya lagi? Apa Yeona harus ia bius lagi untuk dapat melakukan hal seperti tadi?

Namun pikirannya masih terpusat pada Karina. Hampir sejam temannya ini menghilang dari pandangannya, tapi dia tak mencarinya sama sekali. Bahkan Hendery tak menunjukkan tanda-tanda jika dia panik kalau-kalau Karina menemukan Kun sedang melakukan aksinya di unit apartemen mereka.

Apa mereka juga sedang bermain?

Kun terkekeh pelan. Semua itu bisa saja terjadi. Kun merogoh ponsel di kantung celananya, dia mengirimi Hendery sebuah pesan teks.

To: Hendery

Having fun?

Dia kemudian mengirimkannya pada temannya itu. Beberapa detik kemudian ponselnya bergetar, dia melihat nama Hendery tertera di layar ponselnya.

From: Hendery

Sudah? Kau merekamnya kan?

Kun menautkan kedua alisnya. Tak mungkin kan jika Hendery dan Karina tak melakukan apa-apa selama sejam. Terlebih lagi, Karina tak mencari sosok Yeona. Kun juga yakin, Yeona tak menerima satu pesan apapun dari Karina.

Entah bagaimana, Hendery bisa membuat Karina bungkam.

"Kun?" seseorang mengagetkan Kun yang sedang melamun menatap layar ponselnya. Kun mengantungi lagi ponselnya kemudian dia menoleh ke arah Yeona. Perempuan itu berdiri di ambang pintu dengan pakaian tidurnya. Wajahnya tampak lelah dengan rambut yang sedikit berantakan.

Dia mengusap kelopak matanya. Menatap Kun dengan tatapan bingung. "Kenapa kita di sini?" tanyanya.

Kun tersenyum. "Kau tadi demam, jadi ku bawa kesini."

Yeona mengusap tengkuknya, dia memperhatikan Kun sebentar. Dia lalu melihat dirinya sendiri yang saat ini sudah berganti pakaian. Kenapa dia tak bisa mengingat apapun? Kepalanya terasa begitu pening, bahkan rasanya lantai yang ia pijak berputar di bawahnya.

"Kenapa rasanya pusing sekali?" kata Yeona. Dia mengusap pelipisnya, dia berdiri dengan berpangku pada pintu balkon.

"Masuklah, di luar dingin." Kun mematikan abu rokoknya kemudian mengajak Yeona masuk ke dalam unit apartemennya.

Yeona berjalan dengan terhuyung-huyung. Kun menggenggam tangannya, mencoba untuk tak membuat Yeona tersandung oleh langkahnya sendiri.

Mereka lalu duduk di kursi di dapur apartemen Yeona. Kun meraih gelas dan menuangkan air putih untuk Yeona.

"Kau mau makan apa?" tanya Kun. Dia membuka isi kulkas, namun hanya ada beberapa kantung sosis, nugget, serta bungkus ramen. Tak ada bahan makanan yang bisa ia masak.

"Tak usah, aku hanya sedikit linglung." Yeona meminum air putih pemberian Kun. Pandangan matanya berbayang, padahal dia yakin jika dia tak menderita rabun jauh.

"Kau punya obat pusing kan?" tanya Kun. Dia membuka rak kabinet diatasnya, dan hanya mendapati beberapa piring serta gelas di sana.

"Di sebelah kirimu," kata Yeona sambil menunjuk kabinet disebelah kiri Kun. Kun mengangguk pelan, dia menutup kembali pintu kabinet itu dan membuka pintu kabinet yang disebelahnya.

Dia melihat kotak P3K disana. Kun lantas meraih kotak tersebut dan meletakkannya di atas meja. Tangannya mencari obat pereda pusing untuk Yeona.

"Kun, apa kita..." perkataan Yeona terhenti. Dia menatap Kun takut, Kun yang tadi fokus pada isi kotak P3K itu kini balik menatap Yeona.

"Apa?" tanya Kun.

Yeona menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pandangannya ia alihkan ke langit-langit dapur. "Kau tahu, itu... Sesuatu yang tak sempat kita selesaikan kemarin."

Kun menemukan obat pereda pening kemudian menyerahkannya pada Yeona seraya berkata, "memangnya kenapa?"

"Punyaku terasa sakit, bahkan lebih sakit dari semalam. Barusan juga aku tak ingat apapun, aku hanya memastikan jika kita tidak melakukannya," ujar Yeona. Dia meraih obat itu, menelannya kemudian meminum air putih hingga habis.

Kun mendudukkan bokongnya di sebelah Yeona, dia menggenggam erat tangan Yeona. Dengan tatapan tanda dosanya, dia berkata, "tentu saja tidak. Memangnya aku ini lelaki macam apa yang meniduri perempuan saat dia tak berdaya?"

Yeona tersenyum. Dia menatap tangannya yang digenggam Kun, dia balik meremas tangan Kun. Lelaki itu begitu baik, rasanya dia sudah nyaman bersamanya walau dia baru mengenalnya kurang dari seminggu.

"Aku harap kita melakukannya dalam kondisi sadar, tidak seperti semalam." Yeona berkata dengan malu. Pipinya sedikit memerah saat mengatakannya, Kun terdiam, perlahan dia tersenyum menyeringai. Saat ini bukan lah hal yang sulit jika dia ingin meniduri Yeona. Dia hanya perlu meminta, tanpa perlu membiusnya terlebih dahulu.

"Benarkah?" tanya Kun memastikan. Ia membawa wajahnya mendekati Yeona, Yeona terkesiap, wajah Kun tadi sangat dengan dengan wajahnya. Dia bahkan bisa merasakan hembusan napas Kun menerpa pori-pori kulitnya.

"I-iya, tapi tidak sekarang," ujarnya gugup.

Kun terkekeh pelan. "Tentu saja, kau kan sedang tidak enak badan." Kun mengusap puncak kepala Yeona. Untuk sejenak darahnya berdesir cukup cepat.

Mereka kemudian terdiam, Yeona termenung sesaat sebelum dia menyadari sesuatu. "Karina dan Hendery mana?"

***

"Ingat, ini rahasia kita." Hendery mengacungkan telunjuknya ke wajah Karina. Karina menelan ludahnya dengan susah payah. Rasanya dia ingin mengutuk dirinya sendiri karena sudah melakukan hal itu. Mulutnya memang tak pernah bisa ia andalkan.

"Tapi jangan beritahu Yeona soal ini, aku takut dia membenciku jika tahu hal itu," pinta Karina.

Hendery melipat tangannya di dada seraya tersenyum miring. "Yah, gampang. Asal kau tak mengganggu Yeona dengan Kun jika mereka bersama, atau tidak..." Hendery mengeluarkan ponselnya, lalu dia menunjukkan sesuatu pada Karina.

Entah apa itu, tapi sesuatu itu membuat Karina menganggukkan kepalanya cepat. Hendery terkekeh pelan, dia memasukkan kembali ponselnya kemudian menghabiskan kacang milik mereka.

"Tapi, Yeona tidak kenapa-kenapa kan?"

"Diamlah." Hendery melempar kulit kacang ke arah Karina. Karina tertunduk lemas, saat ini dia hanya bisa berharap jika Yeona baik-baik saja.

"Mereka dimana?" Karina bertanya hati-hati, takut kalau-kalau Hendery mengamuk, bisa-bisa dia melemparkan semngkuk penuh kulit kacang padanya.

"Aku juga tak tahu," kata Hendery. Sesaat ponselnya bergetar, dia mendapatkan sebuah pesan dari seseorang.

Dia meminum birnya kemudian berdiri dari sofa karaoke, Karina menatapnya bingung. "Mau kemana?" tanya Karina.

"Ke apartemenmu," ujar Hendery.

Karina tergagap, "ke-kenapa kesana?"

Hendery memutar kedua bola matanya, dia menoyor kepala Karina sedikit kencang dengan telunjuknya. "Temanmu ada disana, bodoh. Tak usah berpikir yang aneh-aneh," katanya sambil berlalu pergi, Karina tak berkata apapun. Dia hanya diam sambil berjalan mengekori Hendery.

Perasaannya berkecamuk, apakah Yeona baik-baik saja bersama Kun. Dia tak mau hal buruk terjadi pada sahabatnya itu, baru dua tahun dia bisa lepas dari ayah tirinya. Karina harap, Kun bisa ia andalkan.













©kunyeo

Resemblant | Kun WayV Where stories live. Discover now