8. Toleransi Hati

392 90 25
                                    

Voment ya^^

Janetha turun dari mobil Jarel tepat saat mobil kakaknya itu berhenti di depan rumah mereka. Tadinya Jarel dan Kanina sudah berniat mengajak Janetha untuk jalan-jalan setelah fitting baju keluarga, tapi wanita itu bersikeras menolak dengan alasan ada tugas yang harus dikerjakan. Meski Jarel tahu bahwa Janetha berbohong, dia tidak mau memaksa. Dia mengenal Janetha seperti apa. Bukan gayanya untuk mengerjakam tugas sebegitu niat yang mana dia tebak adalah demi menghindari konversasi berlebihan pada manusia yang tidak Janetha kehendaki termasuk Kanina.

"Mau titip apa?"

Janetha menggeleng setelah menutup pintu mobil, "Gak usah. Sana!"

"Beneran gak mau ikut, Tha?" Tanya Kanina memastikan lagi.

Kedua kali Janetha menggeleng sembari mencengkram tali tasnya, "Enggak, Kak. Gue masuk ya."

Tanpa menunggu jawaban lagi, Janetha masuk ke dalam rumah setelah menutup pagar. Selalu begini, setiap kali baru saja ditengah keramaian orang yang baginya asing, Janetha akan merasa kehilangan banyak tenaga. Kepalanya pening, perutnya mual bahkan rasanya ingin pingsan. Padahal Kaninapun bukan orang yang baru dikenalnya. Atau dugaannya yang lain, Janetha memang sedang memendam sesuatu di dalam kepalanya.

Perihal tugas, Janetha tidak seratus persen berbohong. Minggu kemarin dirinya dan yang lain sempat melakukan observasi pertama pada UMKM untuk tugas Byantara. Masih ada satu kali observasi lagi yang harus dia lakukan, tapi harus menunggu jadwal Sabit kosong Jum'at depan. Daripada menganggur karena ketiga temannya sibuk dengan dunia mereka yang selalu sibuk, Janetha memilih mengerjakan seadanya lebih dulu untuk memudahkannya mengerjakan observasi selanjutnya.

Jam sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Deru suara mobil yang terdengar membuat Janetha menghentikan permainan jemarinya di atas layar ponsel. Itu suara mobil sang ayah yang lantas membuat Janetha menghela napas berat. Tanpa melihat wajahnyapun Janetha sudah dirundung rasa gelisah bukan main. Dia benci keadaan seperti ini.

Janetha bangkit dari ranjang. Merapikan beberapa buku dan laptop, lalu keluar dari kamar.

Baginya rumah adalah neraka. Tidak ada lagi tempat untuk pulang untuk mengistirahatkan kepenatan yang dia alami selama di luar. Tidak ada lagi rumah yang seharusnya menjadi tempatnya kembali karena setiap kali dia ada disana, hanya pergi yang ingin dia lakoni. Menjauh, entah kemana, asal tidak sana dan bertemu kedua orang tuanya.

"Kemana kamu?" Tanya Farhan melihat Janetha hendak pergi.

Janetha memasang air pod saat menuruni tangga. Berlagak tak melihat siapapun ada disana.

"Tha, mau kemana, Nak?" Sandra bertanya dari ambang pintu.

"Oh, budek ya?"

"Pi!" Tegus Sandra terkejut. Dia mengusap menoleh pada Janetha yang hendak melewatinya.

"Apa? Bener kan? Ditanya pura-pura gak denger, budek kan namanya?" Farhan melihat Janetha berhenti di dekat meja menuju pintu rumah, "Kecil digedein, disekolahin, udah gede kurang ajar, gak tau sopan santun sama orang tua. Diajarin ngomong malah pura-pura bisu. Keluar malem gak pernah ijin. Ada orang tua ngomong gak dianggep! Mau jadi apa kamu?!"

Janetha menghela napas panjang menahan diri sembari mengepalkan tangan. Lalu berniat kembali mengabaikan ocehan tajam sang ayah.

"JANETHA!" Farhan membentak murka, "Mau jadi apa kamu, HAH!"

Janetha membalik arah tubuhnya dan menatap Farhan tanpa emosi, "Jadi apa aja, yang penting gak kayak anda. Tuan Farhan Yang Maha Benar!"

"Balik ke kamarmu!"

Cover - CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang