5-The Last Hope Of Us

79 20 6
                                    

———

Setelah kepergian Sereniti, mereka berlima pun mulai berunding mengenai keputusan itu. Keempat adiknya sudah menyetujui keputusan untuk menyekolahkan Irianna di sekolah sihir, bagaimana pun juga kesempatan ini sangatlah langka yang mereka yakini tidak akan terulang dua kali. Apalagi jika Irianna memang punya bakat magic, maka sekolah itu pastilah tepat untuknya.

Irianna sendiri pun sebenarnya senang dengan undangan itu, sudah jadi impiannya untuk bisa bersekolah kembali sejak putus sekolah 3 tahun yang lalu. Namun, ia sendiri tidak yakin apakah ia benar-benar pantas untuk pergi. Belum lagi uang makan keluarganya yang otomatis akan berkurang juga jika ia meninggalkan rumah.

Jika ditimang-timang, ia sadar bahwa kepergiannya hanya akan mendatangkan lebih banyak kerugian ketimbang keuntungan, mereka sempat berdebat mengenai keputusan ini tapi Irianna sepertinya tetap kukuh pada keputusan awalnya.

"Aku tidak bisa meninggalkan kalian begitu saja," keluhnya. "Lagipula, pemasukan sehari-hari kita akan berkurang jika aku tak bekerja lagi di Toko Paman Sam."

"Kakak...." Fixie memelas. Ia menjadi satu-satunya yang masih keras kepala membujuk Irianna.

"Maafkan aku, Fixie. Tapi keputusanku tetap sama."

"Ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk bersekolah kak, kesempatan untuk belajar. Dan—sihir! Kakak, ini adalah dunia impian kita! Sejak dulu kita semua sudah berangan menginginkannya. Sekarang kita sudah menjadi bagian dari dunia itu. Jalan telah terbuka lebar. Kak, aku harap kau mau mempertimbangkannya." Fixie memelas

"Iya, Fixie. Aku tahu itu, tapi—"

"Keterbatasan kita bukan pengekang untuk tetap maju. Kami tak mau kau menolak kesempatan yang ada hanya karena keberadaan kami. Percayalah, kami akan baik-baik saja, kami janji." Stacy ikut menimpali dan membuat Irianna kehilangan kata. Tidak bisa dipungkiri, ia memang tertarik untuk pergi ke Hogwarts. Lagipula semua manusia di dunia ini pasti akan mau jika ditawari dunia sihir di mana akan ada banyak makhluk mengagumkan dan mantra-mantra praktis yang bisa digunakan hanya dengan satu ayunan tongkat, semua orang pasti menginginkannya! Hanya saja Irianna punya prioritas yang harus ia jaga dan itu adalah keluarganya.

Tidak masalah jika ia memang harus mengorbankan keinginannya untuk menjaga mereka semua, ia akan melakukan apapun untuk keluarganya. Apapun.

"Kakak—"

"Sudahlah, kita tidak perlu membahas itu terus-menerus. Kembalilah ke kamar kalian dan tidur, ini sudah larut. Aku akan ke bawah membujuk Lucas...."

Ucapan Irianna mengundang raut ketidakpuasan dari para saudaranya, tapi Irianna tidak ingin peduli. Sambil berusaha bersikap tenang, ia mengambil jaketnya dan berjalan cepat ke lantai bawah, menyusul Lucas yang ia ketahui masih duduk menyendiri di halaman rumah sejak pertengkaran mereka sebelumnya.

Sambil menuruni tangga ia terus menghapus airmatanya yang bercucuran. Sekalipun sudah berulang kali menegur dirinya sendiri agar merelakan kesempatan itu, pada kenyataannya ini tetap terasa menyakitkan. Kesempatan terbesar yang harus gugur di depan mata, ia mungkin bisa saja pergi tapi ia tidak bisa. Ia punya tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan.

Irianna tidak pernah menyalahkan keluarganya, ini hanyalah keadaan yang memaksanya untuk rela melepaskan kesempatan itu. Bahkan ketika kesempatan itu sudah menawarkan diri kepadanya.

Sambil menghapus kasar jejak airmatanya, ia menatap punggung Lucas yang duduk membelakangi panti. Anak itu meringkuk di atas bangku taman dengan kepala tertunduk, menyembunyikan diri dari cahaya bulan yang bersinar terang malam itu.

Melihat Lucas justru membuat hati Irianna semakin tergores, kini ia menyadari bagaimana rasanya kehilangan impian yang berada tepat di depan mata, persis seperti yang di alami Lucas ketika Miss Matilda jatuh sakit dan ia memilih meninggalkan semua impiannya untuk tanggung jawab yang lebih besar.

THE LAST BLOOD (Muggleborn)Where stories live. Discover now